
Sebagaimana
kita saksikan di sejumlah daerah dan di berbagai media, gerakan radikalisme
atau transnasional semakin mengecambah mengelilingi seluruh sudut kehidupan
warga Indonesia. Gerakan keagaamaan yang bernuansa kekerasan (tatharruf)
dan takfiri ini menyalahi hakikat ajaran Islam yang telah dibawa Nabi
Muhammad Swa, yang menjunjung tinggi moralitas (akhlaqul karimah),
toleransi (samhah) dan kedamaian serta cinta kasih bagi seluruh manusia
(rahmatal lil’alamin). Ekses negatif yang timbul dari paham radikalisme
adalah tereduksinya Islam menjadi agama yang seram, galak, intoleran, dan tidak
humanis, serta memudarnya nasionalisme dalam diri masyarakat. Hal ini tentu
mengancam terpecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pada
pancasila dan UUD 1945. Padahal pancasila sebagai dasar negara menurut NU telah
final, karena di dalam kelima silanya terkandung inti ajaran Islam, yaitu
ketuhanan, keadilan, moralitas, persatuan, demokrasi, dan kesejaateraan sosial.
Artinya, secara konsep Indonesia sebagai negara tidak perlu lagi ditentang dan
diperdebatkan, sebab sudah sesuai dengan pesan Islam.
Karena itu,
dalam persoalan radikalisme, NU bisa menangkalnya dengan gerakan “ijtihad
intelektual". Ijtihad intelektual merupahan usaha deradikalisasi yang
dilakukan melalui interpretasi terhadap esensi dan substansi ajaran agama Islam
yang moderat, toleran, kontekstual dan akomodatif serta membuang interpretasi
yang skriptualis dan literalis. Ijtihad intelektual dilakukan secara kolektif
oleh para ulama, kiayi, tokoh masyarakat, mubaligh, asatidz, orang tua dan para
guru melalui lembaga pendidikan, baik formal, informal maupun nonformal,
seperti sekolahan, madrasah, perguruan tinggi, pesantren, masjid, mushollah,
rumah, majlis ta’lim, komunitas atau
forum kajian ilmiah. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut hendaknya melakukan
rekonstruksi kurikulum yang bermuatan nilai-nilai Islam moderat, inklusif,
toleran, akomodatif, dan nasionalisme serta merumuskan pendekatan dan metode
yang efektif dalam mentranfer nilai-nilai tersebut.
Di samping itu,
persoalan ekonomi sampai detik ini juga masih menjadi problem bangsa kita.
Kemiskinan, pengangguran, dan PHK semakin bertambah jumlahnya. Bahkan,
kemiskinan tak jarang menjadi faktor penyebab kemurtadan seorang muslim dan
berpindahnya dari paham yang moderat menuju paham yang radikal. Dalam konteks
ini, program ekonomi menjadi salah satu strategi lawan NU untuk merekrut dan
mempengaruhi masyarakat. Karena itu, pemberdayaan ekonomi adalah solusi satu
–satunya untuk mengurai keruwetan persoalan kelesuan ekonomi masyarakat
nahdliyin dengan mendorong gerakan berwiraswasta, mendirikan koperasi-koperasi
syari’ah, dan mengefektifkan program-program Laziznu (NuPreneur, NuCare,
NuSkill, NuSmart). Ketiga agenda ini menjadi modal dan kekuatan besar NU
menuju kemandirian ekonomi, baik secara jam’iyah maupun jama’ah.
Kemudian,
dekadensi moral dan menurunnya religuisitas masyarakat saat ini juga menjadi
problem akut kita bersama. Setiap hari di berbagai media masa terpampang berita
pembunuhan, pencurian dan perampokan, pemerkosaan, narkoba, sek bebas,
pergaulan bebas dikalangan remaja,
prostitusi, miras, pertengkaran antar warga, dan bentuk-bentuk tindakan amoral
lainya. Realitas demikian tentu memprihatinkan dan seyogyanya kita terpanggil
untuk ikut menyelasaikan atau minimal mengurangi kebobrokal moral yang ada. Dalam kondisi demikian, NU melalui pesantren,
madrasah, perguruan tinggi, masjid, mushalla, majlis ta’lim, dan organisasi
kepemudaan secara massif dan senergis bisa melakukan perbaikan moral
masyarakat, terutama moral generasi muda. Seluruh lembaga tersebut pelu
diefektifkan dan direvitalisasi melalui optimalisasi pengurus lembaga, MWC,
lembaga Banom, dan terutama pengurus Ranting yang berada di tengah-tengah
masyarakat.
Sudah saatnya
NU dan Warga Nahdliyin menggeliat dan bergerak bersama-sama untuk menyelesaikan
persoalan radikalisme, kemiskinan, dan kerusakan moral. Sejatinya NU memiliki
modal yang besar untuk melakukan semua itu dengan jumlah pengikut mayoritas dan
komplitnya unsur organisasi. Saat ini kita hanya butuh bersatu dan menyatukan
persepsi. Semoga Allah Swt, senantiasa memberi NU dan warganya kekuatan dan
perjalanan yang mudah dan berkah menuju satu abad sebagai pilar peradaban Islam Indonesia
yang rahmatal lil’alamin . (
Andi Irawan Penulis adalah Ketua LAKPESDAM NU Pati)