
dalam istilah syariat
islam dikenal adanya pola dialektika antara hati dan akal. Nutrisi akal berisi
bekal-bekal kognisi untuk menunjang kemampuan berfikir dan meningkatkan
intelektualitas anak. Sementara nutrisi hati tidak hanya berkutat pada materi
keagamaan saja, namun kebahagiaan anak serta perasaan nyaman selama menjalani
proses pendidikan adalah esensinya. Kedua nutrisi tersebut harus berjalan dalam
dimensi integral demi tercapainya cita-cita bangsa. Nutrisi hati dipasok untuk
menunjang akhlak, perangai dan sikap-sikap anak, sementara nutrisi otak adalah
landasan pengetahuan untuk berperilaku.
Hanya dengan
metode itulah generasi-generasi model akan mengibarkan bendera kemajuan. Bukan
dengan program-program yang lahir atas kepentingan politis apalagi bertujuan
untuk menggempur tradisi pendidikan yang telah ada.
Karakter Bangsa
Bangsa Indonesia
‘dikuasai’ oleh sedikitnya dua ratus juta jiwa yang memeluk agama islam—asumsi
ini lahir dari presentase republika per januari 2016. Jika mau, kaum muslim
Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk memberangus agama lain di negeri
ini. Namun itu semua tidak dilakukan. Setidaknya ada dua faktor yang
mempengaruhi perdamaian antar agama di Indonesia, yakni landasan yuridis formal
dan landasan sosio-struktural.
Landasan formal
tertera pada UUD 1945 dan pancasila.Namun diluar dua pilar tersebut, ada satu
faktor sosio-struktural yang selama ini tidak disadari oleh kebanyakan
masyarakat Indonesia, eksistensi NU (Nahdlatul Ulama).
Sudah menjadi
rahasia umum jika NU menyandang gelar sebagai ormas dengan anggota terbesar di
Indoensia. Secara administratif agaknya memang sedikit sulit—mendekati
mustahil—untuk mendeteksi jumlah warga NU di Indonesia. Namun, NU kultural
menjamur hampir di setiap sudut ruang Nusantara.
Dengan jumlah
yang begitu besar, maka tidak berlebihan jika menyebut NU sebagai representasi
dari wajah islam di Nusantara. Meminjam istilah Gus Mus, bahwa NU-lah yang
pertama kali harus bertanggung jawab jika terjadi pergolakan sosial di
Indonesia sebab NU adalah mayoritas.
Masih hangat
dalam benak bangsa Indonesia bahwa ACF (organisasi dunia yang bergerak di
bidang HAM, kebebasan dan perdamaian antara umat beragama) pernah menghadiahkan
penghargaan perdamaian kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 2013
silam. “keberhasilan SBY” dalam menciptakan bangsa yang demokratis dengan
jumlah muslim terbanyak adalah satu hal yang melatarbelakangi ACF
menganugerahkan penghargaan tersebut.
Tentunya SBY
tidak berjalan sendirian. Ada NU yang berperan sebagai “invisible hand”dibelakang SBY kala itu. Andaikan mayoritas umat
islam di Indonesia tidak didominasi oleh kaum nahdliyin, maka dapat dipastikan konfrontasi
dan disharmonisasi antara agama, ras dan suku bangsa di Indonesia akan selalu
menghiasi media massa. Karena memang tidak mudah meruwat integrasi dalam
kebhinekaan. Untung ada NU!
NU—warga NU—yang
moderat, tidak dibangun dengan tongkat ajaib dan mantra sabda dadi –kun fa yakun. Bukan
pula dibangun dengan full day school(FDS)
yang sekarang sedang gencar di media massa. Karakterisitik moderat ini tumbuh
dan berkembang kemudian eksis di tengah-tengah masyarakat Indonesia melalui
proses pendidikan yang begitu khas dan hanya dimiliki islam di Nusantara ini.Ada
pesantren, madrasah diniyah dan majelis-majelis ta’lim yang telah berjasa
membentuk islam yang ramah di negeri ini, bukan islam yang kaku dan profokatif.
Pendidikan
menjadi alat vital pembentukan karakter bangsa. Perubahan kebijakan terhadap
dunia poendidikan secara tidak langsung akan memberikan dampak bagi situasi sosial
di masyarakat. Jelasnya, transformasi sekecil apapun dalam dunia pendidikan
turut bertanggung jawab atas apa yang terjadi di masa mendatang. Oleh sebab
itu, pengambilan keputusan serta pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga yang memiliki benang merah dengan pendidikan harusnya
memperhatikan aspek-aspek tersebut. Bukan malah meng-ACC apa lagi menciptakan
kebijakan yang nantinya akan menyeret masyarakat Indonesia menjauh dari budaya
luhurnya.
Fenomena FDS
Right man in the right place (orang baik yang berada dalam zona yang baik pula)
merupakan komposisi sempurna dalam progresifitas suatu lembaga. Begitu pula
dengan kebijakan yang diambil pemerintah harus mempertimbangkan aspek-aspek domestik
dimana kebijakan itu akan diterapkan. Jika madharat yang dihasilkan akan lebih
besar, maka tangguhkanlah.
Polemik
pelaksanaan full day school menjadi
buah bibir akhir-akhir ini. Pro-dan kontra seakan menjadi sajian wajib media
massa. Banyak negara Eropa yang menggunakan model ini. Namun yang perlu
diingat, bahwa Indonesia bukan Eropa.
Beberapa pakar
yang tidak sepakat dengan pengaplikasian FDS di Indonesia menilai dari sisi
ekonomi, psikologi, sosiologi dan berbagai logi-logi
yang lainnya. Namun artikel ini berupaya menggali suara “NO” terhadap FDS
melalui analogi NU meskipun nantinya akan ada pembahasan dari aspek-aspek lain
sebagai wawasan.
Moderasi NU tak
tertangguhkan lagi. Karakteristik bangsa moderat dan demokratis yang dimiliki
oleh Indonesia tak lain dan tak bukan terlahir dari proses pendidikan baik
formal, non formal maupun informal. NU dengan kapasitasnya sebagai ormas
keagamaan memegang peranan penting dalam ranah edukasi. Hampir seluruh warga
Nahdhiyin merasakan madrasah diniyah yang “tidak terlalu” formal.
Madrasah diniyah
(Madin) memegang kontribusi besar yang selama ini tidak terurai. namun jika FDS benar-benar
diterapkan, maka cepat atau lambat, Madin akan segera punah dari bumi
Indonesia. Salah satu tokoh nahdliyin Jawa Tengah pernah mengungkapkan bahwa
melalui madrasah diniah-lah akhlak al
akrimahummat islam Indonesia terbentuk.
Dengan kata lain,
Madin menjadi pelopor islam moderat,rohmatan
lil alamin (pembawa pesan damai bagi alam semesta) yang menjadi ikon di Indonesia.
Apabila FDS terlaksana secara masif di Nusantara, maka bukan cuma Madin yang
hilang. Lebih dari itu, islam yang kaku, kolot
dan intoleran akan segera menguasai negeri ini. Jika sudah demikian, maka siapa
yang mau bertanggung jawab? Menteri pendidikan? tentu saja bukan! (Maulana L. Karim Penulis merupakan Ketua
Kader Penggerak Nahdlatul Ulama Kec. Gembong dan Pimpinan Redaksi Majalah
Pribumi Pati)