
Begitu
spesialnya ibadah puasa, hingga diabadikan dalam banyak hadits. Salah satunya
adalah ujaran Nabi mengenai Bab ar Rayyan
(Pintu Rayyan)—seperti disebutkan sebelumnya. Berbicara mengenai ar-Rayyan yang secara lughawi berarti puas (tidak haus
lagi) tersirat makna tentang sebuah nilai final dari sebuah kebahagiaan. Jika dianalogikan
dengan the law of diminishing return
theory, maka nilai kepuasan pahala puasa adalah poin klimaks. Gambaran ini
bukan hanya sekadar dugaan imajinatif, namun lebih pada hasil analisis
berdasarkan aspek-aspek yang saling terkoneksi.
Ditinjau dari
aspek nilai ibadah, puasa memiliki strata yang unggul dibandingan dengan jenis
peribadatan syar’iyah lainnya. Dari aspek reward,
ibadah puasa juga sangat dikhususkan. Janji akan adanya pintu Rayyan adalah
satu di antaranya. Menurut aspek praktis pun demikian. Puasa secara terminologi
praktikal memiliki makna (kurang lebih) menahan diri dari segala yang
membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Dalam konteks
praktis ini, ibadah puasa ditutup dengan buka puasa.
Ramadhan
: Gerbang ar Rayyan
Ramadhan
memiliki posisi strategis bagi umat islam. Dalam konteks masa kekinian, posisi
strategis Ramadhan bukan hanya karena karamah
(kemuliaan) yang digelontorkan oleh Allah SWT dalam bulan penuh berkah ini.
Namun ditinjau dari kaca mata apapun, Ramadhan juga menjadi komoditas paling
menarik sebagai ladang investasi. Baik itu investasi ilahiyah (spiritual
ketuhanan), basyariyah (social-kemanusiaan) maupun yang bersifat iqtishodiyah—‘fulusiyah’—(ekonomis).
Dari sisi ilahiyah,
Ramadhan membawa semangat baru sekaligus momentum emas bagi mereka yang
memiliki i’tikad untuk ‘hijrah’. Banyak orang merasa malu untuk memperbaiki
diri, akan tetapi dengan mediasi Ramadhan, seseorang tidak rikuh lagi untuk
menjalankan kebiasaan-kebiasaan baik yang belum pernah dialakukan sebelumnya.
Hal ini menjadikan Ramadhan sebagai pintu perubahan menuju masa depan spiritual
gemilang. Di kalangan budayawan, fenomena ini lebih familiar dengan istilah
mendadak religius.
Ditinjau dari
kacamata sosial, Ramadhan juga menjadi gerbang hati. Ada korelasi positif antara
keterbukaan hati dengan suasana religi saat Ramadhan dan proses berpuasa. Pertama, nuansa yang dibangun selama Ramadhan
sangat mendukung bagi umat muslim untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Hal ini
ditunjang dengan ‘promosi’ yang dilakukan oleh para da’i akan besarnya pahala
ibadah di bulan penuh berkah ini. Selain itu, peningkatan spiritualitas umat
juga menjadi motor dalam memacu
kesalehan sosial selama Ramadhan.
Kedua, dahaga yang
melilit sha’im selama puasa secara
psikologis meningkatkan tenggang rasa antar sesama. Situasi ‘kelaparan’ yang
melanda seseorang membuatnya lebih mudah berempati serta meningkatkan rasa
peduli. Lagi-lagi, ini menjadi gerbang yang terbuka lebar bagi jalan kebaikan. Misalnya
orang akan lebih mudah bersedekah atau bagi-bagi takjil selama bulan puasa.
Dari sisi
ekonomis, Bulan Ramadhan menjadi pintu ar-Rayyan
bagi banyak elemen masyarakat. Mulai pedagang dadakan yang menawarkan
berbagai menu khas Ramadhan menjelang
buka, hingga para pemilik usaha toko dan supermarket yang kian laris khususnya
menjelang lebaran. Bahkan yang lebih ekstreme lagi, beberapa kalangan seperti elit
politik dan perusahaan-perusahaan besar juga tak ketinggalan memanfaatkan
momentum Ramadhan sebagai media memperoleh pengakuan, pencitraan dan legitimasi eksistensi dari khalayak. Semua
kalangan masyarakat mendapatkan Rayyan-nya
masing-masing di selama Ramadhan.
Sisi
Sufistik
Pintu Rayyan
yang didengung-dengungkan sejak awal merupakan simbol kebahagiaan yang termat
mendasar. Rayyan memangkas jarak antara ranah ukhrawi dan duniawi. Selama ini
banyak yang beranggapan bahwa akhirat memiliki dimesnsi yang jauh berbeda dari
dunia. Gambaran altar akhrirat yang sangat suci, begitu kontradiktif dengan
hingar bingar dunia yang tercemar oleh ‘polusi’ dan ‘birahi’ kekuasaan, harta serta
kepentingan manusiawi lainnya.
Hampir semua
kalangan sepakat bahwa Ramadhan merupakan salah satu jalan suci untuk berbenah
diri menuju kebahagiaan ukhrawi begitu juga duniawi. Pintu Rayyan yang
disebutkan sebagai ganjaran bagi kaum sha’im
merupakan manifestasi kecintaan Sang Khaliq
terhadap makhluq. Dengan cara
me-Ramadhan-kan makhluk-Nya, Allah mencoba menjalin komunikasi virtual dengan
manusia untuk menggiring mereka menuju surga melalui Rayyan.
Hanya saja, ada
satu aspek yang perlu dimafhumi adalah bahwa pintu Rayyan bukan sekadar gambaran ‘abstrak’ surga akhirat seperti yang selama
dimengerti oleh mayoritas. Rayyan—sebagai
diskripsi dari puncak kebahagian—juga dapat diraih di bumi ini. Dalam konteks shiyam¸ Rayyan yang sesungguhnya adalah
Ramadhan itu sendiri. Bagaimana orang merasa sangat bahagia menyambut bulan
suci ini.
Kebahagiaan yang
tulus tentu bukan karena adanya janji surgawi dari Tuhan atau iming-iming laba
ekonomi. Namun secara lebih mendasar, kebahagiaan ini muncul karena datangnya
bulan sakral yang di setiap langkah kebaikan dilipatgandakan skor kebaikannya.
(Maulana
L. Karim Penulis merupakan
Ketua Kader Penggerak Nahdlatul Ulama Kec. Gembong dan Pimpinan Redaksi Majalah
Pribumi Pati)