
Lahirnya
sosok Masdar Farid Mas’udi, Said Aqil Siraj, A. Mustafa Bisri, A. Hasyim
Muzadi, Imam Aziz, Yahya Tsaquf, Ulil Abshar Abdalla, Abdul Moqsith Ghazali,
Syafiq Hasyim, Badriyah Fayumi, Maria Ulfah Anshor, Husein Muhammad, Rumadi,
Zuhairi Misrawi, Khamami Zada, Abdul A’la, Imdadun Rahmat, Ahmad Baso, Marzuki
Wahid, Alai Najib, Imam Nakhai, dan Malik Madani, tidak lepas dari perjuangan
Gus Dur dalam membangkitkan spirit intelektual dan mobilitas organisasi kaum
muda sehingga mereka bisa dikenal publik dengan cepat. Kemampuan orasi,
menulis, dan aksi Gus Dur betul-betul mampu menggugah tidur panjang NU dalam
pertukaran pemikiran modern yang sebelumnya didominasi kalangan modernis. Kini,
kader-kader Gus Dur telah memegang estafet kepemimpinan NU untuk meneruskan
idealisme Gus Dur dalam menjadikan NU sebagai kekuatan utama civil society yang
diperhitungkan oleh seluruh pihak, dalam dan luar negeri.
Harlah
NU ke-94 ini harus dijadikan sebagai momentum kebangkitan kaum muda NU dalam
memimpin NU masa depan. Tidak mungkin NU mengalami era kejayaan dan keemasan
jika pemimpinnya berwawasan sempit, relasinya terbatas, dan pergerakannya
lamban. Kaum muda NU tidak boleh menunggu kader-kader senior mengundurkan diri
dalam kompetisi, tapi harus merebut panggung kepemimpinan nasional NU dalam
rangka mendinamisir potensi NU ke depan dengan langkah-langkah yang efektif.
Saat ini, nama-nama yang muncul ke permukaan hampir semuanya kader-kader
senior, seperti Said Aqil Siraj, As’ad Said Ali, A. Mustafa Bisri, A. Hasyim
Muzadi, dan Salahuddin Wahid. Sudah
waktunya kader-kader muda di bawahnya, seperti Imam Aziz, Afifuddin Muhajir,
Malik Madani, dan Yahya Tsaquf mengambil alih kepemimpinan nasional NU dan
berkolaborasi dengan kader-kader senior untuk membawa kejayaan NU, melampaui
era Gus Dur. Jika era Gus Dur, pemikir dan aktivis NU belum banyak, sehingga
Gus Dur seperti berjuang sendirian dalam membesarkan NU, maka sekarang pemikir
dan aktivis NU jumlahnya sangat banyak, baik alumni pesantren, perguruan tinggi
dalam dan luar negeri, dan lain-lain, sehingga mereka bisa diajak bersama untuk
membesarkan NU. Profesi mereka ada yang menjadi dosen, pengusaha, birokrat, aktivis
lembaga swadaya masyarakat, dan lain-lain. Mereka kaya gagasan, tapi belum bisa
dimanfaatkan untuk pengembangan NU.
Penulis
yakin, kaum muda NU mampu tampil sebagai pemimpin NU masa depan jika mereka
mempunyai kepercayaan diri yang kuat dan mampu melakukan bargaining position
yang tinggi dengan kapabilitas yang mereka miliki. Dalam konteks ini, kaum muda
NU harus bersatu untuk merebut pucuk pimpinan NU dengan cara-cara elegan dan
sportif. Forum terbuka dalam penyampaian visi dan misi pimpinan NU dimanfaatkan
oleh kaum muda untuk melakukan sosialisasi gagasan dan pemikiran cemerlang
dalam membangun NU di masa depan, baik di bidang penguatan kapasitas lembaga,
kemandirian ekonomi warga NU, peningkatan kualitas lembaga pendidikan,
menempatkan kader-kader muda terbaik NU ke berbagai instansi pemerintah, maupun
bekerjasama dengan berbagai kalangan, dalam dan luar negeri, untuk memperkuat
kontribusi NU dalam menyelesaikan problem-problem kemanusiaan global. Mereka
perlu membuat profil yang bisa dibaca oleh peserta muktamar sebagai salah satu
pertimbangan sebelum memilih seorang pemimpin sehingga diketahui rekam jejak
yang bisa dipertanggungjawabkan.
Kebangkitan
NU jilid tiga, setelah kebangkitan jilid pertama era Gus Dur dan kebangkitan
jilid dua era Said Aqil Siraj dan Masdar F. Mas’udi, akan menjadi kenyataan
jika anak-anak muda NU yang kreatif dan kompetitif mampu merebut panggung
kepemimpinan nasional NU. Selama ini mereka gamang menghadapi hegemoni
kader-kader senior yang ingin mempertahankan status quo. Oleh sebab itu,
cita-cita tinggi menjadi pemimpin NU harus diperjuangkan dengan gigih. Namun,
jika realitas politik menunjukkan kader-kader muda masih belum mampu merebut
pucuk pimpinan, karena kuatnya pengaruh figur senior, maka kader muda harus
proaktif membangun kekuatan untuk mendukung figur senior yang akomodatif dan
terbuka terhadap kader-kader muda. Figur senior tersebut diharapkan mampu
memberikan peran krusial kepada anak-anak muda untuk membangkitkan potensi
terpendam NU yang masih belum diberdayakan secara optimal, khususnya di bidang
pendidikan dan ekonomi.
Kompleksitas problem NU tidak bisa diatasi oleh satu dua
orang, tapi oleh tim yang kuat, solid, dan profesional. Kaum muda NU mempunyai
kompetensi memadai untuk membangun tim pemenang (the winning team) yang akan
menjalankan program-program prioritas yang sudah diputuskan dalam muktamar NU
ke-33 di Jombang kemarin. Kekayaan ilmu, relasi global, kekuatan finansial,
manajemen modern, dan jam terbang yang tinggi, baik dalam maupun luar negeri,
menjadi jaminan mutu untuk menggerakkan roda organisasi NU dengan sukses menuju
realisasi cita-cita yang diharapkan oleh seluruh warga NU dan bangsa, yaitu
kemandirian ekonomi, kemajuan pendidikan, peningkatan pengetahuan dan
teknologi, dan penguatan kapasitas kelembagaan secara professional. Jangan
sampai kader-kader muda terbaik NU dimarginalkan, karena khawatir menjadi
kompetitor. Pikiran negatif seperti ini hanya lahir dari orang-orang yang
mentalitasnya rapuh dan akalnya tumpul. Kader-kader muda NU justru harus
diorbitkan agar dikenal publik dan difasilitasi untuk membangun masa depan NU
yang cemerlang.( Dr. Jamal Ma’mur Asmani, MA Wakil Ketua PCNU Pati, Ketua Prodi
Manajemen Zakat Wakaf IPMAFA)