
Sudah
pasti ada banyak kisah tentang kiai besar ini. Sebagian besar kisah tentang
beliau sudah pasti pernah dituturkan, baik oleh para muridnya atau oleh
orang-orang lain yang pernah mengenal sosok ini.
Tetapi akan selalu ada "little
narrative", kisah-kisah kecil tentang Mbah Hasyim yang masih tersembunyi
di balik memori para muridnya dan belum diketahui oleh banyak orang.
"Little narrative" tentang
Mbah Hasyim itu saya jumpai saat lebaran tahun ini, saat saya "sowan"
ke rumah Kiai Muadz Tohir, guru yang mengajari saya bahasa Inggris di Madrasah
Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, dulu.
Kiai Muadz adalah putera Kiai Thohir bin
Nawawi, Kajen. Saat saya berkunjung ke rumahnya Lebaran tahun ini, Kiai Muadz
menuturkan sebuah "little narrative" tentang Mbah Hasyim yang saya
yakin belum banyak diketahui oleh orang. Kisah yang sangat menarik.
Beginilah kisahnya.
Kiai Thohir, ayahanda dari Kiai Muadz,
dulu pernah nyantri di Tebuireng, di bawah asuhan Mbah Hasyim. Dengan kata
lain, Kiai Thohir adalah santrinya Mbah Hasyim.
Beberapa tahun nyantri, Thohir muda
belum banyak mengalami perkembangan. Dia tak terlalu pintar menyerap pelajaran
dari Mbah Hasyim. Istilah pesantrennya, "dhèdhèl" (not so smart).
Suatu hari, Mbah Hasyim ada hajat untuk
menghadiri undangan dari Kiai Romli di Peterongan, Jombang. Lalu, Mbah Hasyim
memanggil santri yang tak terlalu pintar bernama Thohir itu. Mbah Hasyim
memintanya untuk menggantikan beliau mengajar kitab Bulughul Maram (kitab
kumpulan hadis yang sangat populer di seluruh dunia Islam).
Tentu saja Thohir muda kaget bukan main
dan sekaligus panik. Dia merasa sebagai santri yang bodoh. Dia bahkan merasa
belum mampu baca kitab berbahasa Arab. Tetapi dia, tentu saja, tak mungkin
menolak perintah guru.
Akhirnya, dengan keringat dingin yang
bercucuran, Thohir muda memaksa diri mengajar kitab Bulughul Maram. Yang
membuat Thohir muda kaget, ternyata Mbah Hasyim tidak "tindakan"
(pergi) mendatangi undangan, malah ikut menunggui dia mengajar.
Di luar dugaan, Thohir muda, dengan
ditunggui Mbah Hasyim, mampu mengajarkan kitab itu dengan lancar. Tentu dia
sendiri kaget. Setelah itu, Mbah Hasyim meminta santri Thohir untuk mengajarkan
kitab Bulughul Maram.
Kocap kacarita, singkat cerita, Thohir
muda menjadi salah satu murid kesayangan Mbah Hasyim.
Saat boyongan ke Kajen, Mbah Hasyim ikut
mengantar Kiai Thohir sampai ke rumahnya. Mbah Hasyim, saat itu, ingin
"iras-irus" (sekalian) bertemu dengan Mbah Salam, kakak dari Mbah
Nawawi. Mbah Nawawi adalah ayahanda Kiai Thohir. Sementara Mbah Salam adalah ayahanda
dari Mbah Abdullah Salam, kiai yang sangat dihormati dan dikenal sebagai wali
di Jawa Tengah.
Mbah Hasyim tidak sekedar mengantar Kiai
Thohir sampai ke rumahnya di Kajen. Tetapi juga memberikan "suvenir"
atau kenang-kenangan berupa tiga kitab hadis besar-besar.
Tiga kitab itu ialah Sahih Bukhari,
Syarah Qasthallani (salah satu komentar [syarah] yang terkenal atas Sahih
Bukhari) dan Muwatta' (kumpulan hadis karya Imam Malik, pendiri mazhab Maliki).
Ketiga kitab ini dihadiahkan oleh Mbah
Hasyim kepada santrinya yang baru boyongan itu sebagai semacam apresiasi
intelektual atas kemampuan Thohir muda.
Mbah Hasyim tidak sekedar menghadiahkan
tiga kitab itu, tetapi juga membubuhkan autograf atau tanda tangan disertai
sebuah ucapan.
Mendengar kisah Kia Muadz ini, saya
langsung menyergah, "Boleh saya melihat tiga kitab itu, Pak Muadz? Saya
ingin sekali melihat tulisan tangan dan tanda tangan Mbah Hasyim."
Sayang sekali kitab itu tidak disimpan
di rumah Kiai Muadz. Melainkan di rumah kakaknya, alm. Kiai Muzammil.
Dalam hati saya berkata: Suatu saat saya
pasti akan mendatangi putera Kiai Muzammil dan melihat sendiri
"suvenir" yang dihadiahkan oleh Mbah Hasyim itu.
Ada kisah lain yang dituturkan oleh Kiai
Muadz tentang kunjungan Mbah Hasyim ke Kajen itu.
Seperti saya tuturkan sebelumnya, selain
ingin mengantar santrinya boyongan ke dusunnya, Mbah Hasyim "karonto-ronto"
(bersusah-payah) datang ke Kajen juga untuk bertemu dengan Mbah Salam, paman
dari Kiai Thohir.
Usai sowan ke Mbah Salam, dalam
perjalanan pulang ke rumah Kiai Thohir, Mbah Hasyim menangis
"sesenggukan". Mbah Nawawi, ayahanda Kiai Thohir, yang menemani Mbah
Hasyim sowan ke "ndalem" (rumah) Mbah Salam, bertanya:
"Kenapa njenengan menangis,
Yai?"
Jawab Mbah Hasyim: Ada satu hal yang tak
pernah berhasil saya lakukan tetapi dikerjakan oleh Mbah Salam. Aku iri.
"Apa itu, Yai?" tanya Mbah
Nawawi.
"Mbah Salam masih sempat mengajar
anak-anak kecil. Padahal beliau itu kiai besar. Sementara saya yang ilmunya tak
seperti Mbah Salam tak sempat mengajar anak-anak."
Saat sowan ke rumah Mbah Salam, Mbah
Hasyim memang melihat beliau mengajar anak-anak kecil. "Mu'allim
al-sibyan," mengutip kata-kata Kiai Muadz.
Saat mengisahkan kisah ini kepada saya,
Kiai Muadz menambahkan komentar kecil yang sarat sindiran dan secara ironis
bernada "self-mocking". Kata Kiai Muadz, "Sementara kita-kita
ini sekarang gengsi jika ngajar anak-anak."
Mendengar komentar itu, saya tertawa
getir. Dalam hati saya berbisik, "Sekarang ini kita memang cenderung
jaim!"
Di ujung kisah itu, saya berteriak
kepada Kiai Muadz:
"JADI, KIAI MUADZ, MBAH HASYIM
PERNAH MENJEJAKKAN KAKINYA DI RUMAH YANG NJENENGAN TINGGALI INI?"
"Ya," jawab Kiai Muadz lirih.
Saya langsung menengok ke belakang, dan
melihat foto Kiai Thohir tergantung di kamar tamu Kiai Muadz. Dengan bergegas
saya langsung minta izin pada Kiai Muadz untuk mengabadikannya di hp saya.
Jepret. Jepret. Jepret.
"Ini," kata Kiai Muadz,
"adalah foto yang diambil saat ayah saya menjadi pegawai KUA. Tapi ayah
saya tak tahan jadi pegawai. Beliau cuma bertahan selama tiga bulan saja."
Memang "trah" Kiai Thohir
adalah trah kiai. Tak cocok menjadi pegawai negeri.
Mari kita hadiahkan Fatehah untuk Mbah
Hasyim, Mbah Salam, Mbah Nawawi, Kiai Thohir dan Mbah Dullah Salam.(Repro Fb. Ulil Abhsor Abdala)