KH Ahmad Nafi' Abdillah
Kajen, Pati, Jawa Tengah dipanggil Yang Maha Kuasa. Menurut keluarga, beliau
wafat di Turki pada hari ahad, 22 Jumadil Ula 1438 H/19 Februari 2017. KH A.
Nafi’ Abdillah adalah putra KH. Abdullah Zein Salam bin KH Abdussalam. Kakeknya
KH Abdussalam adalah pendiri Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM) Kajen yang
dulu dikenal dengan Sekolah Arab. Bapaknya KH Abdullah Zen Salam adalah penerus
estafet kepemimpinan Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM) setelah KH Mahfudh
Salam, ayahanda KH MA. Sahal Mahfudh.
KH A. Nafi’ Abdillah
sendiri adalah penerus estafet kepemimpinan Perguruan Islam Mathali’ul Falah
(PIM) setelah wafatnya KH MA. Sahal Mahfudh. Beliau adalah sosok yang
bersahaja, santun, dan ramah kepada siapa pun. Sebagai seorang mursyid
thariqah, beliau mempunyai jamaah yang tingkat keilmuan dan strata sosialnya
beragam, namun beliau mampu mengayomi semua tanpa diskriminasi.
Penulis bertemu pertama
kali dengan KH A. Nafi’ Abdillah ketika mengenyam pendidikan di Perguruan Islam
Mathali’ul Falah (PIM). Ketika itu beliau mengajar Ushul Fiqh. Setelah membaca
kitab Ushul Fiqh Ghayatul Wushul karya Zakariyya Al-Anshari rahimahullah, Kiai
Nafi’ dengan tenang menulis keterangan di papan tulis secara sistematis dengan
bagan-bagan yang memudahkan para siswa untuk memahami materi yang tergolong
sulit ini dalam bentuk bahasa arab, kemudian beliau menjelaskannya dengan lugas
dan renyah. Pancaran kewibawaan beliau dalam mengajar berbarengan dengan
keteladanan beliau dalam mengajar.
Sembilan akhlak utama Kiai Nafi’
Pertama, tawadlu’,
rendah hati. Beliau sosok yang tidak ingin menonjolkan diri. Jarang beliau
berkenan memberikan mauidhah hasanah di depan panggung, kecuali dalam momentum
tertentu, seperti haul Masyayikh PIM yang biasa digelar akhir tahun oleh
Keluarga Mathaliul Falah (KMF) sebagai organisasi alumni PIM. Dengan nada
guyon, beliau sering mengatakan kepada para tamu, bahwa pondok Mathaliul Huda
(PMH Pusat) bukan pondok beliau. Hal ini mencerminkan kerendahhatian beliau
dalam bertutur sapa dan bersikap.
Kedua, istiqamah.
Beliau mewarisi sifat utama ini dari bapaknya KH. Abdullah Zein Salam. Beliau
masuk dan keluar dari kelas tepat waktu sebagai teladan bagi para guru. Menurut
beliau, mengajar adalah wajib yang harus dilaksanakan dan tidak boleh ditinggal
kecuali dengan alasan wajib. Hal ini sesuai kaidah fiqh “al-wajibu la yutraku
illa lil-wajibi”, kewajiban tidak boleh ditinggalkan kecuali karena sesuatu
yang wajib pula. Kewajiban tidak boleh ditinggalkan untuk sesuatu yang hukumnya
sunnah, apalagi mubah.
Ketiga, ikhlas. Beliau
begitu menekankan pentingnya ikhlas sebagai intisari amal. Hanya dengan ikhlas
(beramal hanya karena Allah), seseorang dekat dengan Allah dan hatinya tenang
dari segala gangguan yang datang dari setan, nafsu dan sesama manusia. Jangan melakukan
sesuatu dengan motivasi selain Allah, karena rugi dunia-akhirat. Dalam mengajar
misalnya, ikhlas adalah faktor utama terpancarnya nur (cahaya) ilmu menembus
batin siswa. Tanpa keikhlasan, sangat sulit melahirkan siswa yang shaleh.
Dengan ikhlas, segala urusan ditujukan dan dihadapkan kepada Allah SWT.
Keempat, mencintai
ilmu. Beliau adalah sosok yang tekun membaca kitab, mulai kitab kecil, seperti
Safinatus Shalah karya Imam Nawawi al-Bantani yang menjelaskan tata cara shalat
secara detail, sampai kitab tasawuf legendaris karya Ibnu Athaillah
al-Sakandari, yaitu Al-Hikam. Pengajian kitab ini bahkan beberapa bulan sudah
diadakan di Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM) bersama para guru. Pengajian
beliau di Masjid Jami’ Kajen dan di ndalem selalu diikuti ratusan bahkan ribuan
jama’ah yang begitu merindukan petuah-petuah emas dari beliau.
Kelima, menyayomi
dengan hati dan tidak mengintimidasi. Kesadaran hati beliau kedepankan daripada
pemaksaan kehendak. Dengan pendekatan hati, seseorang menjadi sadar. Ketika
dalam suatu rapat di Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM), guru-guru sedikit
gundah karena masalah tertentu, beliau memberikan nasehat mengutip ucapan
(dawuh) ayahandanya KH. Abdullah Zein Salam bahwa dalam hidup prinsip yang
harus dipegang adalah ojo gelo (jangan menyesal) dengan setiap kejadian karena
semua sudah menjadi takdir Allah SWT. Sehingga sebagai hamba Allah harus
menerima dan ridla dengan takdir Allah. Semua guru ketika mendengarkan nasehat
beliau ini tertegun, sadar, dan menjadi ingat Allah sebagai bekal dalam
mengarungi kehidupan yang penuh cobaan dan tantangan.
Keenam, teguh memegang
prinsip. Ketika mempunyai prinsip, beliau pegang dengan disiplin, sehingga
orang lain segan. Dengan kegigihan memegang prinsip ini, beliau menjadi panutan
bagi semua orang. Prinsip-prinsip utama beliau adalah memegang teguh tafaqquh
fiddin, mencintai auliyaillah (wali-wali Allah), dan disiplin dalam menjalankan
amanah.
Ketujuh, membimbing dengan keteladanan.
Sebagai seorang ulama kaidah lisanul hal afshahu min lisanil maqal, tindakan
lebih efektif dari pada ucapan, benar-benar beliau praktekkan dalam kehidupan
sehari-hari. Beliau adalah sosok dengan pertahanan mental yang sangat tinggi,
sehingga dalam menyikapi segala hal selalu menampakkan kesejukan, kematangan,
dan kearifan, bukan luapan emosi dan ejekan yang justru memperkeruh suasana dan
tidak menjadi solusi. Sebagai seorang pemimpin dan mursyid thariqah, ucapan dan
tindakan beliau menjadi marji’ul ummah (referensi umat) dalam bersikap dan bertindak.
Kedelapan, tegas dalam
mengambil keputusan. Dalam mengambil keputusan apapun, ketegasan beliau jaga.
Seorang pemimpin tidak boleh plin-plan dalam mengambil keputusan karena
keputusannya diikuti oleh seluruh anggota tanpa terkecuali. Dalam hal masuk
sekolah, beliau begitu gigih melaksanakannya. Beliau akan tetap masuk mengajar,
meskipun banyak siswa yang tidak hadir. Ketegasan beliau ini menjadi teladan
bagi para pemimpin di negeri ini sehingga keputusan yang diambil diikuti oleh
seluruh anggotanya.
Kesembilan, kaderisasi.
KH A. Nafi’ Abdillah adalah sosok yang memperhatikan kaderisasi, sehingga
memperhatikan pertumbuhan kader-kader muda, karena merekalah yang nanti
meneruskan estafet keilmuan dan perjuangan ulama. Ketika masih di Perguruan
Islam Mathali’ul Falah (PIM), saya bersama teman-teman seksi pendidikan HSM
(Himpunan Siswa Mathali’ul Falah) dan siswa-siswa yang lain pernah dua minggu
di ndalem beliau untuk mematangkan persiapan berangkat ke Pondok Pesantren
Al-Anwar Sarang Rembang untuk mengikuti forum bahtsul masail. Di ndalem beliau
saat itu, selain beliau ada KH. Zainuddin Dimyati, KH. Ali Fattah Ya’qub, KH.
Ahmad Yasir, dan Kiai Nurhadi Pesarean. Beliau begitu antusias melihat semangat
siswa-siswi dalam tafaqquh fiddin.
Ya Allah, ampunilah
semua dosa guru kami ini, siramilah dengan rahmah dan Ridla-Mu, tempatkan
beliau dalam maqam yang mulia, tabahkan keluarga dan santri yang ditinggalkan,
dan lahirkan ulama-ulama yang sejuk, santun, dan ramah seperti beliau, Amiin ya
Rabbal Alaamiin.( Jamal Ma’mur A, Santri
KH Ahmad Nafi’ Abdillah di Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM) Kajen Tahun
1995-1997)