
Mbah
Dullah sebagaimana penuturan murid beliau al-Marhum al-Maghfurlah KH.
Syafi’uddin (Pengasuh Pondok Pesantren Dhiyaul Qur’an Kajen) ketika mengajar
al-Qur’an menerapkan prinsip disiplin dan tegas. Ketika santrinya kurang cepat
menyerap ilmu yang diberikan atau dalam membaca al-Qur’an banyak kesalahan,
maka tidak segan-segan Mbah Dullah menegur dan memberikan peringatan. Dalam
mendidik putra-putrinya, Mbah Dullah juga sangat tegas dan jauh dari kesan
memanjakan. Beberapa sumber yang penulis ingat mengatakan, Mbah Dullah tidak
memanggil putra-putrinya dengan panggilan Gus-Neng, tapi langsung dengan
namanya, supaya tidak ada rasa sombong dalam hati putra-putrinya. Mbah Dullah
juga tidak segan-segan menghukum anaknya ketika melakukan pelanggaran. Hal sama
juga dilakukan KH. Mahfudh Salam, ayahanda KH. MA. Sahal Mahfudh dan kakak KH.
Abdullah Zein Salam dalam mendidik anak-anaknya. Menurut Kiai Sahal, ketika
beliau membaca al-Qur’an ternyata banyak kesalahan, maka ayahandanya langsung
menegur dan memberi hukuman, tentu yang mendidik. Kiai Sahal ketika takut, maka
beliau langsung lari menuju kediaman kakeknya KH. Abdussalam dan ketika lari ke
pangkuan kakeknya, maka KH. Mahfudh Salam tidak berani menyusul Kiai Sahal
karena hormatnya kepada ayahanda.
KH.
Ahmad Nafi’ Abdillah tumbuh dalam lingkungan keluarga yang religius, disiplin,
dan ketat, baik dalam lapangan ilmu, akhlak, dan perjuangan seperti gambaran di
atas. Lahir dari ayahanda KH. Abdullah Zein Salam dan Hj. Aisyah, Kiai Nafi’
Abdillah mendapatkan asupan gizi pengetahuan, spiritual, dan sosial yang sangat
dalam. Pengaruh pendidikan ayahnya sangat melekat dalam kepribadiannya. Di
samping itu, pengaruh guru-guru beliau di Perguruan Islam Mathali’ul Falah juga
sangat besar membentuk karakter beliau yang kuat. KH. Muhammadun Abdul Hadi dan
KH. MA. Sahal Mahfudh adalah guru-guru istimewa beliau di Kajen yang
menumbuhkan ghirah ilmiyyah dalam diri Kiai Nafi’ untuk mencintai ilmu,
mengamalkan ilmu, dan menyebarluaskannya kepada masyarakat.
Guru
berpengaruh lainnya adalah KH. Maimun Zubair ketika Kiai Nafi’ meneruskan jenjang
pendidikannya ke Pondok Pesantren Sarang. Pondok Sarang secara umum adalah
pondok yang orientasi tafaqquh fiddin-nya sangat kuat, khususnya dalam bidang
fiqh. Pondok Sarang dikenal sebagai pendekarnya Bahtsul Masail (forum diskusi
keagamaan untuk membahas dan memutuskan status hukum masalah aktual yang
terjadi dengan tendensi kitab kuning) dari dulu sampai sekarang. Kedalaman
aspek gramatikal bahasa (nahwu-sharaf) sangat diperhatikan di Pondok Sarang ini
sebelum naik ke jenjang fiqh dan ushul fiqh serta balaghah. Kiai Nafi’ tentu
mengalami pergulatan keilmuan yang sangat intens selama di Sarang, bergumul
dengan berbagai karya ulama yang dikenal dengan istilah kitab kuning, baik
dalam bidang nahwu-sharaf, fiqh-ushul fiqh, balaghah, tafsir, hadis, akhlak, tasawuf,
dan lain-lain.
Pergulatan
intelektual intens dengan banyak muthala’ah ini menjadi sebuah keniscayaan,
tidak hanya mengharap barakah tanpa belajar. Ketika penulis kelas 1 Aliyah PIM,
Kiai Nafi’ memberikan wejangan kepada siswa-siswa bahwa barakah sekarang tidak
bisa didapatkan tanpa belajar yang tekun. Jika ingin mendapatkan berkah para
wali dan guru PIM, maka syaratnya adalah belajar tekun harus diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa al-Marhum al-Maghfurlah KH. Ali Fattah
Ya’qub “waqaddimid dirayah ala ar-riwayah” dahulukan belajar dari riwayat harus
selalu dijadikan prinsip utama siswa-siswa PIM untuk mendapatkan keberkahan
ilmu. Kiai Mu’adz Thohir sering menceritakan hikayat KH. Muhammadun Abdul Hadi
yang belajar sampai lupa waktu ketika diajak munadharah kitab Jam’ul Jawami’
bersama gurunya KH. Mahfudh Salam setelah mengkhatamkan kitab Jam’ul Jawami’
bersama gurunya tersebut.
Thariqah Bersama
Habib Luthfi
Pergulatan
intelektual Kiai Nafi’ semakin lengkap ketika beliau mengikuti jalan thariqah
dengan mursyid Habib Luthfi Pekalongan. Ketika penulis wawancara beliau bersama
Mas Ratna Andi Irawan dalam momentum satu abad PIM (2012), Kiai Nafi’
menceritakan pengalaman pendidikan thariqahnya dengan Habib Luthfi yang pada
akhirnya beliau diangkat menjadi Mursyid Thariqah dengan tugas yang sangat
berat dan agung, yaitu membai’at dan membimbing santri-santri untuk mengambah
jalan (suluk) mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam
konteks bekerja, Kiai Nafi’ sering mengingatkan kepada orang-orang, khususnya
ketika kami shilaturrahim saat lebaran (badan dalam istilah jawa) supaya tetap
bertawakkal kepada Allah dan jangan menghitung keuntungan dan memastikannya.
Kiai Nafi’ menceritakan pengalaman pribadinya ketika beliau bisnis kapuk dengan
kalkulasi keuntungan yang besar, misalnya membeli kapuk dengan harga sekian,
kemudian dijual dengan harga sekian, maka keuntungan yang didapat sekian dalam
jumlah besar. Apa yang terjadi ? setelah kapuk dibeli, ternyata harga jatuh,
akhirnya tidak jadi untung. Hal ini untuk mengingatkan supaya dalam
ber-ikhtiyar (bekerja) tidak melupakan aspek tawakkal dan i’timad kepada Allah
sebagai Sang Pemberi Rizki dan Pemberi Anugerah satu-satunya, bukan yang lain.
Hal ini sebagaimana prinsip kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah, khususnya Imam
Al-Asy’ari yang melahirkan konsep al-kasb (usaha) sebagai antitesa paham
qadariyyah (free will) dan jabariyah (fatalistic). Kasb ini menjadi kompetensi
manusia yang bisa digunakan, tapi hasil akhirnya ada dalam genggaman Allah SWT.
Aktivis
Organisasi NU
Ketika
penulis masih di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Kajen Tengah, penulis sering
dereake (menemani) Al-Marhum Al-Maghfurlah KH. Ahmad Fayumi Munji mengikuti
forum bahtsul masail MWCNU Margoyoso yang saat itu moderatornya adalah
al-Marhum al-Maghfurlah KH. Ma’mun Muzayyin. Ketika bahtsul masail dalam rangka
Haul Mbah Ronggokusumo, Kiai Nafi’ hadir dan membacakan ta’bir. Kiai Nafi’ juga
sering ke Pondok Raudlatul Ulum untuk mengikuti persiapan Bahtsul Masail di
tingkat Wilayah bersama KH. Ahmad Fayumi Munji. Penulis sering menyaksikan hal
ini. Informasi lain yang penulis himpun dari Bapak Salamun, aktivis PCNU Pati,
KH. Ahmad Nafi’ Abdillah pernah menjadi pengurus PCNU Pati dan saat itu beliau
aktif ngantor (masuk kantor) untuk menjalankan amanah tersebut. Sampai akhir
hayatnya, KH. Ahmad Nafi’ Abdillah menjadi Mustasyar PCNU Pati sebagai sesepuh
yang bertugas membimbing pengurus NU supaya berada di jalan yang benar. Sebuah
keteladan Sang Kiai kepada kader-kader muda supaya serius mengurus NU dalam rangka
khidmah kepada ulama dan umat. NU tidak boleh dibuat mainan, apalagi batu
loncatan untuk hal-hal yang sifatnya material dan kedudukan.
Direktur
PIM
Sejak
meninggalnya KH. MA. Sahal Mahfudh tahun 2014, KH. Ahmad Nafi’ Abdillah
meneruskan estafet kepemimpinan PIM sebagai Direktur. Pada masa kepemimpinan
beliau, kedisiplinan guru dan murid terjadi peningkatan tajam. Kaidah al-wajib
la yutraku illa lil-wajib, kewajiban mengajar tidak boleh ditinggalkan kecuali
dengan sesuatu yang wajib, dipraktekkan guru dan siswa dengan tertib. Bimbingan
spiritual kepada guru sebagai pengukir karakter anak ditingkatkan dengan
pengajian Al-Hikam kepada para guru di gedung PIM. Jika guru baik, maka insya
Allah anak didik baik, karena kata guru bermakna filosofis, yaitu digugu
ucapannya dan ditiru perilakunya.(Penulis Alumnus PIM 1997 dan Wakil Ketua PCNU
Pati)