Sebagai
organisasi masa Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, Nahdlatul Ulama (NU)
memiliki pengalaman dan sayap yang luas di berbagai sisi kehidupan. Politik
kekuasaan menjadi pengalaman yang cukup kentara di tubuh NU. Sementara proyeksi
pengembangan ekonomi umat dan bidang lainnya nyaris tidak terdengar gaunya.
Padahal, jika kita tengok sejarah, NU selalu memperoleh raport merah di dunia
politik. Keterlibatan NU dalam panggung politik justru sering berujung pada
perpecahan baik kalangan elite maupun akar rumput (gressroot).
Masa
NU tersebar hampir di seluruh penjuru daerah. Meskipun tidak ada data pasti
mengenai jumlah warga NU, namun dari berbagai literatur menyebutkan bahwa
jumlah mereka tidak kurang dari 40 juta orang. Jumlah yang sangat prestisius tersebut
seringkali dimanfaatkan oleh para pelaku politik untuk mendongkrak perolehan
suara dalam pemilihan umum daerah maupun nasional. Keberadaan mereka yang
mayoritas di pedesaan dan identik dengan kemiskinan menjadikannya tunduk pada
iming-iming politik. Mereka menjadi komoditas bagi para calon pemimpin yang
menjanjikan kesejahteraan hidup. Tak peduli dari kalangan NU maupun tidak.
Kenyataan
ini cukup disayangkan. Ditambah lagi, perhatian para elite NU di tingkat atas
terhadap pengembangan sektor ekonomi hingga kini tidak bergaung. Padahal, kalau
saja mereka mau serius, dengan segala potensi alam dan peluang kerja di
pedesaan, bukan tidak mungkin pengentasan kemiskinan dan peningkatan
kesejahteraan hidup akan teratasi. Ini menjadi tantangan yang seharusnya dan
sudah saatnya mendapat perhatian.
Data
Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2014 menyebutkan bahwa 13,76 %
penduduk desa hidup dalam garis kemiskinan. Meskipun secara geografis Indonesia
adalah Negara agraris dan sebagian besar penduduknya bertani dan nelayan, namun
perhatian Pemerintah pada pertanian dan perikanan masih sangat minim. Petani
seringkali dihadapkan pada mahalnya pupuk saat musim tanam dan rendahnya harga saat
panen tiba. Mayoritas nelayan kita yang umumnya tradisional juga dihadapkan
pada minimnya fasilitas penangkapan, pelelangan dan ancaman nelayan asing serta
nelayan-nelayan besar modern.
Realita yang ada
– sebagaimana di desa penulis -, kondisi ekonomi di desa relatif stagnan tanpa
ada perkembangan. Rata-rata mereka yang menjadi petani hidup serba pas-pasan,
bahkan kurang. Ketika musim tanam tiba, mereka yang memiliki sepetak sawah
mengolah tanahnya dan menanami padi. Untuk kebutuhan pupuk mereka berhutang
terlebih dahulu kepada koperasi kelompok tani. Sementara untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari mereka mencari pekerjaan lain dengan menjadi buruh. Itu
pun dengan gaji yang tidak seberapa. Saat panen tiba, hasil dari panen mereka
jual sebagian untuk menutupi hutang pupuk dan hutang yang lainnya, dan sebagian
lagi dibawa pulang untuk kebutuhan beras sehari-hari. Maka, nyaris tidak ada lebihan
hasil panen yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki rumah atau menambah
koleksi perabotan.
Bagi mereka yang
tidak memiliki sawah atau kebun, jalan satu-satunya adalah menjadi buruh tani
atau berjualan. Bahkan bagi kalangan muda, profesi yang satu ini hampir punah.
Mereka lebih memilih jalan pintas dengan merantau ke luar negeri atau ke ibu
kota untuk mendapatkan penghasilan yang lebih banyak dan cepat. Sekalipun,
lagi-lagi mereka hanya menjadi buruh, baik buruh rumah tangga ataupun buruh
bangunan. Akibatnya, ibu kota dipenuhi oleh penduduk desa yang
berbondong-bondong mengadu nasib. Menambah kemacetan, dan jika tidak
mendapatkan pekerjaan mereka menjadi gelandangan.
Penanganan
kemiskinan dan peningkatan ekonomi masyarakat semestinya diarahkan pada
pengembangan potensi desa yang ada. Luasnya lahan kosong di pedesaan dan sumber
daya alam yang melimpah seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal. Penduduk
desa harus mencoba meningkatkan pertumbuhan di sektor riil yang banyak menyerap
tenaga kerja. Dan langkah yang paling bisa diandalkan adalah mendorong mereka
untuk menjadi wirausahawan. Dengan berwirausaha akan memberikan bentuk
kemandirian buat diri sendiri disamping aspek sosial yang bisa diberikan, yakni
memberikan peluang kerja buat orang lain, lingkungan dan masyarakat.
Data
menunjukkan bahwa jumlah entrepreuneur di Indonesia per April 2014 baru
tercatat sekitar 1,65 % (atau di bawah
standar minimum yakni 2 %) dari total jumlah penduduk Indonesia 240 juta
penduduk. Jumlah tersebut masih di bawah negara-negara tetangga, seperti
Singapura, Malaysia, dan Thailand. Untuk menjadi negara maju, setidaknya,
sebagaimana diungkapkan Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X,
dibutuhkan 2% dari penduduk Indonesia yang menjadi eenterpreneur.
Memang, saat ini jumlah wirausaha Indonesia angkanya sudah mencapai kisaran 57
juta, namun 98,8% di antaranya masih dalam skala mikro dan informal.[1]
Diakui
ataupun tidak, keterbelakangan bangsa Indonesia yang di dalamnya mayoritas
warga NU adalah kekurangmerataan kemampuan dan keterampilan mereka dalam
berwirausaha. Di sisi lain, dukungan pemerintah terhadap gerakan berwirausaha
di pedesaan hampir tidak terlihat. Di samping akses informasi dan sosialisasi
yang tidak sampai di arus bawah. Selain memang NU secara struktural kurang
memperhatikan pengembangan ekonomi.
Padahal,
jika menilik sejarah, kelahiran NU tidak lepas dari tiga tiang penyangganya,
yaitu Nahdlatul Wathan (1914), Nahdlatut Tujjar (1918) dan Tashwirul Afkar
(1918) yang juga didirikan oleh para ulama pendiri NU. Nahdlatut Tujjar yang
artinya kebangkitan para pedagang merupakan gerakan ekonomi yang bertujuan
menguatkan sendi-sendi perekonomian rakyat dan berbagai bentuk usaha bersama
seperti koperasi dan pengembangan usaha kecil. Ini seharusnya menjadi modal
sejarah berharga yang dapat ditumbuhkembangkan hingga kini.[2]
Berkaitan dengan
pendirian Nahdlatut Tujjar, KH. Hasyim Asy’ari menguraikan tentang
problem-problem keumatan yang terkait erat dengan soal ekonomi. KH. Hasyim
Asy’ari kemudian memelopori dan menuntut kepedulian para ulama, karena
merekalah pemimpin dan teladan umat. Apabila basis-basis dan simpul-simpul
kemandirian ekonomi tidak dibangun, selain para ulama telah berdosa, bangsa ini
juga akan terus terpuruk dalam kemiskinan, kemaksiatan, dan kebodohan akibat
dari kuatnya pengaruh kolonial.[3]
Yang tidak kalah
menarik, sebagaimana dicatat Adien Jauharudin, sejak awal pendiriannya,
Nahdlatut Tujjar ternyata telah mengenal dan menerapkan manajemen organisasi
modern. Pembagian struktur organisasi dan pembagian kerja, di mana ada para
pendiri, kepala perusahaan, direktur, sekretaris, marketing, dan pengawas
keliling sudah dipraktikkan di Nahdlatut Tujjar. KH. Hasyim Asy’ari dipilih
sebagai kepala perusahaan dan mufti (semacam komisaris), KH. Wahab Hasbullah
sebagai direktur perusahaan, H. Bisri sebagai sekretaris perusahaan, dan
Syafi’i sebagai marketing sekaligus pengendali perusahaan.[4]
Selain itu,
konsep investasi usaha juga mengemuka dalam bentuk sederhana, yang di era
sekarang dikenal dengan profit share. Pembagian keuntungan 50% menjadi
kesepakatan bersama, tetapi masih boleh dikembalikan untuk memperkuat modal.
Dengan begitu, Nahdlatut Tujjar didirikan bukan hanya untuk membangun basis
perekonomian para ulama, melainkan menjaga tradisi perdagangan yang sudah ada
sejak sebelum datangnya kolonial dan turut menciptakan pasar sendiri di daerah
Surabaya, Kediri, dan Jombang. Lebih dari itu, Nahdlatut Tujjar juga memiliki
cita-cita ideal untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan, kemaksiatan, dan
kebodohan.[5]
Berangkat dari
modal sejarah tersebut, maka sudah seharusnya warga NU, baik struktural maupun
kultural, untuk melanjutkan gagasan para ulama pendahulunya. Pengentasan
kemiskinan dan pengembangan ekonomi selayaknya diperhatikan demi kemajuan
bangsa pada umumnya, dan ormas NU pada khususnya.
Berekonomi;
Sebuah Keniscayaan Hidup
Manusia diciptakan oleh Allah Swt
sebagai khalifah yang mendiami dan memakmurkan bumi.[6]
Untuk tugas itu ia dilengkapi berbagai instrument dalam dirinya seperti
insting, pancaindera, akal pikiran, hati nurani, nafsu, dan sebagainya.
Diciptakan pula berbagai kebutuhan mereka di bumi dari mulai yang paling asasi
sampai pada kebutuhan yang bersifat asesoris.
Kebutuhan
adalah keinginan manusia terhadap benda atau jasa yang dapat memberikan
kepuasan jasmani maupun kebutuhan rohani. Kebutuhan manusia tidak terbatas pada
kebutuhan yang bersifat konkret (nyata) tetapi juga bersifat abstrak (tidak
nyata). Hirarki kebutuhan (hierarchy of need)
mengatakan bahwa ada beberapa tingkatan macam kebutuhan manusia pada
umumnya;
Pertama, kebutuhan primer (daruriyyat), yaitu kebutuhan
yang berkaitan dengan hidup-mati seseorang, seperti kebutuhan pada oksigen,
makanan, dan minuman. Manusia harus terus berusaha untuk mempertahankan
kehidupannya dengan melakukan pemenuhan kebutuhan primernya sebatas kebutuhan
(tidak berlebih-lebihan).
Kedua, kebutuhan sekunder (hajiyyat), yaitu kebutuhan
yang diperlukan untuk mengatasi kesulitan, tetapi tidak sampai mengancam
kehidupan apabila tak terpenuhi. Apabila makan dan minum merupakan kebutuhan
primer manusia maka instrumen yang digunakan untuk menyediakan sesuatu menjadi
siap santap dikategorikan sebagai kebutuhan sekunder. Ringkasnya, segala
sesuatu yang dapat memudahkan dalam melakukan tugas-tugas penting
diklasifikasikan sebagai kebutuhan sekunder.
Ketiga, kebutuhan tersier (tahsiniyyat), yaitu
kebutuhan yang bersifat asesoris, pelengkap, dan memberi nilai tambah pada
pemenuhan primer dan sekunder. Dalam kehidupan pribadi dan social terdapat
kebutuhan-kebutuhan tersier yang harus diperhatikan, misalnya menggunakan
parfum, berpenampilan menyenangkan, dan aneka asesoris yang lain. [7]
Makan dan minum
merupakan kebutuhan naluriah manusia. Keduanya menjadi kebutuhan primer yang
harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan lain. Karena tanpa makan dan
minum seseorang tidak akan mampu bertahan hidup. Kebutuhan ini dinamakan juga basic
needs yang jika tidak terpenuhi dalam keadaan yang sangat ekstrim maka
manusia yang bersangkutan kehilangan kendali atas perilakunya sendiri karena
seluruh kapasitas manusia tersebut dikerahkan dan dipusatkan hanya untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya itu.
Begitu
pentingnya kebutuhan tersebut sehingga Islam memberikan keringanan berupa
kebolehan memakan bangkai bagi seseorang yang sudah tidak menemukan lagi
sesuatu yang bisa dimakan.[8]
Bangkai (selain ikan dan belalang) yang hukum asalnya adalah haram dimakan
menjadi boleh, bahkan wajib, ketika seseorang berada dalam kondisi darurat.[9]
Semua itu tidak lain untuk menjaga kelangsungan hidup manusia.
Bahkan, ketika
seorang muslim dihadapkan pada pilihan antara panggilan agama dan kebutuhan
perut, Nabi Muhammad Saw mengisyaratkan agar orang tersebut memenuhi kebutuhan
fisiknya terlebih dahulu.[10]
Karena biar bagaimanapun, seseorang tidak akan
memperoleh ketenangan dalam beribadah ketika perutnya kosong.
Untuk
menuju kemampuan memenuhi kebutuhan fisik, seperti makan, sandang, dan pangan,
seseorang kemudian melakukan berbagai upaya baik secara individu maupun
kelompok, guna menghasilkan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhannya. Jika kita
amati keadaan lingkungan kita setiap hari, maka akan kita dapati orang-orang
yang sibuk melakukan sesuatu. Seorang bapak berangkat ke sawah setiap hari,
seorang ibu berteriak-teriak menawarkan dagangannya di pasar, penjual es
keliling menawarkan dagangannya pula dengan mikrofon, seorang perawat sibuk
mengukur tekanan darah pasien, peternak menggembalakan sapi dan kambingnya di
rerumputan, serta aktifitas lainnya yang tidak terhitung.
Semua
orang bekerja. Untuk apa mereka melakukan itu? Mereka menggunakan kemampuan
yang dimilikinya agar memperoleh penghasilan. Dari penghasilannya itu, mereka
bisa meningkatkan kesejahteraan hidupnya, bisa membeli apa saja yang diperlukan
untuk hidup, makanan, pakaian, perumahan dan hal-hal lainnya. Bagaimana cara
mereka bekerja? Caranya dengan menghasilkan atau menciptakan sesuatu yang berguna
bagi orang lain, sebagaimana tersebut di atas.
Itulah
ekonomi.[11]
Setiap manusia melakukan dan membutuhkan kegiatan ekonomi untuk memenuhi
kebutuhannya sehari-hari. Kegiatan berekonomi berbanding lurus dengan kegiatan
bersosialisasi. Untuk memenuhi ekonominya seseorang meniscayakan adanya
sosialisasi dengan sesama. Ia tidak akan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri
tanpa ada campur tangan orang lain. Sebut saja seorang petani, ketika panen
tiba ia membutuhkan orang yang akan membeli hasil panennya. Dari hasil panennya
ia membutuhkan penjual yang lain untuk membelanjakan uangnya. Dan seterusnya.
Ekonomi
merupakan sebuah keniscayaan dalam hidup. Selama seseorang masih hidup di dunia
maka ia membutuhkan ekonomi. Mau tidak mau ia harus memenuhi kebutuhan primer (seperti
makan, sandang, pangan) demi kelangsungan hidupnya. Setelah kebutuhan primer
terpenuhi barulah ia beranjak untuk memenuhi kebutuhan sekunder, dan tersier.
Untuk memenuhi itu semua ia harus menjadi pelaku ekonomi.
Keseimbangan Ikhtiar-Tawakkal
Keberadaan manusia dalam peta ekonomi menempati posisi
subjek. Yakni sebagai produsen dan konsumen yang mengendalikan kegiatan
ekonomi. Manusia sebagai subjek ekonomi, yang dalam kelompok besar disebut
umat, oleh Islam dibebani (mukallaf) untuk berikhtiar sesuai kadar
potensinya. Taklif (pembebanan) ini berimplikasi pada banyak hal. Dalam
disiplin fiqh – meskipun ekonomi sendiri bukan merupakan komponen fiqh –
ikhtiar dalam arti luas disinggung karena erat kaitannya dengan usaha ekonomi.[12]
Ikhtiar dalam mencari rizki atau
penghidupan banyak disinggung dalam al-Quran. Allah Swt menciptakan segala apa
yang di bumi untuk manusia. Nikmat yang berlimpah ruah di daratan dan lautan Ia
sediakan untuk memenuhi kebutuhan mereka.[13]
Dari nikmat itu manusia kemudian diperintah untuk berikhtiar (berusaha) mencari
rizki dari apa yang telah Allah Swt hamparkan.[14]
Rasulullah Saw dalam beberapa
sabdanya menyinggung, memerintah, dan memotivasi umatnya agar senantiasa
mencari penghidupan dengan bekerja. Dalam hadis riwayat Abu Hurairah Ra,
Rasulullah Saw bersabda, “"Sungguh, seorang dari kalian yang memanggul
kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya lebih baik baginya daripada dia
meminta kepada orang lain, baik orang lain itu memberinya atau
menolaknya".[15]
Interpretasi hadis ini ialah bahwa Rasul Saw menginginkan kita menjadi
manusia yang produktif, tidak meminta-minta dan bergantung pada orang lain.
Manusia
produktif secara definitif adalah kelompok enterpreneur yang berciri
antara lain, peka terhadap kebutuhan lingkungan sekelilingnya, menguasai
informasi, dan memiliki dinamika kreatifitas yang tinggi, sehingga mampu
menciptakan – bukan hanya mencari – lapangan kerja, menumbuhkan wawasan ekonomi
yang luas.[16] Manusia
yang berpotensi seperti inilah yang dikehendaki Islam sebagaimana hadis riwayat
Imam Muslim, Rasulullah Saw bersabda, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan
lebih dicintai oleh Allah Swt daripada orang mukmin yang lemah.”[17]
Hadis riwayat Abu Hurairah Ra di atas, secara tegas
memerintahkan kita untuk menjadi manusia yang berusaha (ikhtiar). Sikap
ikhtiar sepatutnya kita kedepankan sebelum sikap tawakkal. Tawakkal sebagai
suatu nilai iman yang luhur tidak bisa diartikan berlawanan dengan ikhtiar,
bahkan harus saling berkaitan antara keduanya. Sikap yang seperti ini
ditampilkan oleh Nabi Saw ketika menanggapi pertanyaan sesorang sahabat, “Wahai Rasulullah, apakah aku harus mengikat
untaku kemudian bertawakkal atau aku melepaskannya saja kemudian bertawakkal?”
Seketika beliau menjawab, “Ikatlah untamu kemudian bertawakkallah."[18]
Perintah
Nabi Saw di atas, mengindikasikan bahwa sikap ikhtiar memang harus diupayakan.
Tetapi bukan berarti menanggalkan sikap tawakkal. Keduanya harus berimbang.
Ikhtiar diproyeksikan agar menusia selalu memiliki spirit dalam mencari
penghidupannya. Sementara tawakkal akan mengingatkannya bahwa ada Allah Swt
sebagai penentu semua usaha. Ada dimensi dunia dan agama yang harus
diseimbangkan.
Sikap
seperti inilah yang mendapat perhatian KH. Sahal Mahfudh rahimahullah. Ia
mencontohkan teladan Nabi Saw sewaktu hijrah ke Madinah, dimana beliau
memerintahkan para sahabat untuk membangun pasar setelah sempurnanya
pembangunan masjid. Pasar disimbolkan sebagai pusat sirkulasi ekonomi,
sementara masjid sebagai pusat sirkulasi ketakwaan. Pasar sebagai wujud usaha dan
masjid sebagai rumah tawakkal.[19]
Yang
perlu menjadi catatan ialah sikap ikhtiar jangan sampai beralih menjadi sikap
serakah yang selalu berorientasi pada perhitungan untung rugi secara kebendaan.
Dan sikap tawakkal jangan sampai membuat orang fatalis. Keduanya harus
seimbang. Bila hal itu merosot, norma-norma religius akan makin tersisih dan
budaya sekular
akan lebih berkembang secara leluasa. Umat pun kian lupa, kehidupan akhirat
lebih baik ketimbang kehidupan dunia.[20]
Urgensi Enterpreneurship bagi
Kemajuan Bangsa
Istilah
enterpreneur sudah dikenal orang dalam sejarah ilmu ekonomi sebagai ilmu
pengetahuan sejak tahun 1755.[21]
Ia berasal dari bahasa Perancis yang berarti perantara.[22]
Ada banyak definisi terkait enterpreneur, diantaranya ialah seorang yang memulai
suatu bisnis baru dan yang melakukan hal tersebut dengan jalan menciptakan
sesuatu yang baru, atau dengan jalan memanfaatkan sumber-sumber daya dengan
cara yang tidak lazim, dalam upaya menghasilkan nilai bagi para pelanggan.[23]
Enterpreneur
merupakan bagian dari kegiatan ekonomi. Terkait ekonomi, Indonesia pernah
memiliki pengalaman buruk di bidang tersebut. Ketika itu, di penghujung era
Orde Baru negara ini mengalami krisis ekonomi, dimana kesenjangan antara sektor
moneter dan sektor riil menguat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebelumnya
sudah mencapai angka rata-rata 7 persen per tahun tiba-tiba anjlok menjadi
minus 15 persen di tahun 1998. Krisis ini kemudian berdampak pada tingkat
inflasi yang mencapai angka dua digit yakni 78 persen, harga-harga membumbung
tinggi, daya beli masyarakat jauh menurun dan perusahan-perusahaan banyak yang
kemudian melakukan PHK, menutup usahanya dan pengangguran terjadi dimana-mana.[24]
Hampir semua
sektor ekonomi mengalami pertumbuhan ekonomi negatif selama tahun 1998 dan
berlanjut hingga tahun 1999. Sektor konstruksi merupakan sektor yang paling
besar mengalami pertumbuhan negatif sebagai akibat dari melonjaknya tingkat
suku bunga, penurunan daya beli, dan beban utang yang besar. Kemudian pada
sektor perdagangan dan jasa yang juga mengalami minus 21% ditahun 1998. Sektor
industri manufaktur pun mengalami pertumbuhan negatif sebesar 19 % pada tahun 1998 dan mengalami
gejolak penurunan 5 persen ditahun 1999. Hanya sektor pertanian yang mengalami
pertumbuhan namun tergolong relatif lambat (0,5%) pada tahun 1998.[25]
Menurut beberapa
pakar ekonomi, gejolak semacam ini merupakan konsekuensi logis dari lepasnya
keterkaitan antara sektor moneter dan sektor riil. Sektor moneter yang
menjadikan uang sebagai barang komoditas telah berkembang melampaui batas,
laksana balon yang terbang tinggi di udara, menggelembung laksana bubble
economics—yang sewaktu-waktu dapat pecah. Sementara di sisi lain sektor
riil berjalan lambat tertinggal di belakang karena adanya kebutuhan waktu untuk
memproses barang dari input menjadi output,[26]
padahal seperti diketahui sektor riil inilah yang paling banyak melibatkan
tenaga kerja dan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Dalam kondisi
genting seperti itu, persaingan tenaga kerja bergulir ketat. Pengangguran
menumpuk dimana-mana. Maka solusi paling
jitu yang dapat menjadi alternatif adalah mencoba meningkatkan pertumbuhan di
sektor riil yang banyak menyerap tenaga kerja. Dan langkah yang paling bisa
diandalkan adalah mendorong masyarakat untuk berwirausaha. Dengan berwirausaha
akan memberikan bentuk kemandirian buat diri sendiri disamping aspek sosial
yang bisa diberikan yakni memberikan peluang kerja buat orang lain, lingkungan
dan masyarakat.
Sejak saat itu,
kesadaran berwirausaha mulai terlihat dan berkelindan hingga hari ini.
Kesadaran ini juga muncul mengingat peluang untuk berkarir di pemerintahan
(PNS) sangatlah terbatas, dan lahan yang masih sangat terbuka lebar adalah
dunia usaha. Terlebih, selain modal pengalaman, riwayat pendidikan juga menjadi
pertimbangan bagi diterimanya seseorang untuk bekerja. Pengalaman dan riwayat
pendidikan menjadi niscaya. Pengalaman tanpa dibarengi status pendidikan
percuma, begitu sebaliknya.
Kondisi
dilematis ini dialami masyarakat pedesaan kebanyakan. Sebagai masyarakat akar
rumput yang kurang mampu dan tidak memiliki riwayat pendidikan tinggi, mereka
akan kesulitan beranjak dari kemiskinan. Untuk melamar kerja misalnya, mereka
akan sulit diterima lantaran hanya bermodal pengalaman minim tanpa embel-embel gelar
sarjana. Kemungkinan paling tinggi adalah diterima sebagai bawahan dengan gaji
sekedarnya. Dalam keadaan seperti itu maka berwirausaha menjadi pilihan
solutif. Dengan berwirausaha mereka akan langsung menjadi pemimpin tanpa harus
memikirkan urusan pengalaman pendidikan.
Sebagaimana
dikutip oleh Darwanto dari apa yang ditulis oleh Wim Naude, peran entrepreneur
di negara berkembang seperti Indonesia banyak membawa dampak positif bagi
pertumbuhan ekonomi. Peran entrepreneurship berupa kontribusi dalam transformasi
masyarakat dengan pendapatan rendah ke pendapatan yang lebih tinggi dan dari
masyarakat berbasis sektor primer ke dalam masyarakat berbasis sektor jasa dan
teknologi.[27]
Terdapat tiga
dampak positif entrepreneur dalam
menyelesaikan masalah-masalah di negara berkembang. Pertama, entrepreneur
membuka jenis usaha baru dalam perekonomian, sehingga usaha yang dijalankan
menambah heterogenitas usaha di Indonesia. Masyarakat menjadi kreatif dalam
mengembangkan jenis usaha. Kedua, menyediakan lapangan pekerjaan dan
menyerap tenaga kerja. Ketika usaha dimulai
berarti membuka langkah untuk mengurangi jumlah pengangguran dan pelamar
kerja. Ketiga, menambah output perkapita nasional. Peningkatan
produktivitas akibat munculnya usaha-usaha baru akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi nasional dan pendapatan masyarakat.[28]
Sinergi NU dan Nahdliyyin
Keputusan
untuk menjadi wirausahawan atau enterpreneur memang mudah dan tidak membutuhkan
persyaratan sebagaimana ketika melamar pekerjaan. Siapapun bisa menjadi
enterpreneur. Hanya saja, tidak semua enterpreneur yang mampu dan sukses ketika
menjalaninya. Dibutuhkan bekal dan keberanian mental. Dalam tataran praktis,
memang seorang enterpreneur menjadi pemimpin dan bebas mengendalikan usahanya,
namun dalam perjalanannya ia harus menaiki tangga dari titik nol dan akan
banyak menemui rintangan. Kemungkinannya hanya dua; sukses dan berkembang, atau
bangkrut dan gulung tikar.
Untuk
mampu sukses dan berkembang, khususnya bagi enterpreneur pedesaan, setidaknya
dibutuhkan dua faktor penting; keterampilan dan modal usaha. Dua faktor ini
yang sangat dibutuhkan di pedesaan. Keberhasilan usaha seseorang sangat
ditentukan oleh tinggi dan rendahnya kapasitas orang tersebut dalam menjalankan
usahanya. Faktor pengalaman dan keterampilan akan menentukan langkah dan
strategi usahanya sehingga semakin tinggi pengalamannya, maka akan semakin luas
pula pengetahuannya. Jatuh bangunnya seorang usahawan dalam menjalankan
bisnisnya, tentu akan memberikan dampak bagi penambahan pengalamannya dibanding
seorang pengusaha yang baru pertama kali mencoba.
Adanya
keterampilan dan pengalaman tanpa dibarengi modal usaha bak niat tanpa amal.
Sekecil apapun sebuah usaha, terlebih di era sekarang ini, dibutuhkan dana yang
menyokongnya. Bagaimana mungkin kita ingin memulai usaha asesoris misalnya,
tanpa adanya dana sebagai modal awal? Maka, kiranya tidak benar jika ada yang
mengatakan, ‘berwirausaha tanpa modal’. Sekecil apapun, baik dana milik sendiri
maupun hasil pinjaman, semua itu adalah modal.
Dua
faktor itulah yang selama ini banyak dirasakan penduduk desa. Bertahun-tahun
mereka hidup dan bekerja dalam keadaan stagnan, tanpa ada perkembangan. Hal ini
wajar mengingat mayoritas penduduk desa merupakan komunitas yang taraf
keterampilannya boleh dibilang tidak terwadahi. Pada dasarnya banyak dari
mereka yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang bagus dan mumpuni. Hanya
saja karena keterbatasan ekonomi dan minimnya informasi, potensi itu tidak
tersalurkan. Pada akhirnya mereka hidup apa adanya tanpa motivasi untuk
berkembang.
Jika kita tengok
sejarah Nahdlatul Ulama, organisasi ini pernah menerapkan strategi pembangunan ekonomi,
khususnya di bidang pertanian. Pada tahun 1937, Ketua Tanfidhiyah NU, KH.
Mahfoedz Shidiq, mendirikan Koperasi Syirkah Mu’awanah untuk memperkuat modal
para petani di pedesaan. Kehadiran koperasi ini berupaya membuka jaringan
perdagangan antar pesantren yang banyak menghasilkan produk-produk pertanian
dan usaha-usaha kecil lainnya. Pada saat itu pesantren memproduksi
barang-barang sederhana seperti pakaian, rokok, sajadah, dan lain-lain.
Pesantren-produsen ini diperkenankan memasarkan barangnya dengan nama
“Nahdlatul Ulama”, dengan menggunakan lambang resmi NU. Sebagai imbalannya
mereka harus memberikan persentase keuntungannnya kepada organisasi, dan semua
label harus dicetak di percetakan milik NU sendiri. Ketika itu, kiai didorong untuk
mendirikan toko sendiri dengan logo NU, menjual barang-barang yang diperlukan
di pesantren. Sementara koperasi membantu mereka mengembangkan keterampilan
bisnis, dan para usahawan didorong menjual barang-barangnya ke toko-toko ini
dengan persyaratan yang lebih mudah.[29]
Secara
struktural, NU telah melakukan upaya-upaya membangun perekonomian. Pada juni
1990 NU menandatangani kesepakatan dengan Bank Summa (milik grup Astranya
William Soerjadjaya) dan membentuk bank Nusumma. Kehadiran bank Nususmma ini
sebenarnya adalah upaya menjembatani kebutuhan permodalan bagi pengembangan
usaha-usaha warga NU, selain secara khusus juga dimaksudkan sebagai badan usaha
untuk menopang kebutuhan NU. Namun keberadaan Nusumma sendiri tidak mampu
bertahan setelah kelompok usaha William Surjadjaja tersandung masalah dan
terpaan badai krisis ekonomi 1997. setelah Nusumma tidak lagi punya liquiditas
dan pemerintah tidak lagi membantu meningkatkan liquiditasnya, akhirnya Nusumma
turut di liquidasi bersama bank-bank nasional lainnya.[30]
Setelah masa
reformasi bergulir, NU pun turut dalam program-program peningkatan
kesejahteraan khususnya petani dan pengusaha kecil. NU juga dipercaya sebagai
salah satu penyalur dana dari program Kredit Usaha Tani (KUT), namun karena
minimnya SDM dan banyak factor lain, seperti fluktuasi harga dan gagal panen,
banyak dari peminjam dana KUT tidak mengembalikan, termasuk yang disalurkan
melalui NU kepada warganya. Akhirnya program KUT dinyatakan gagal dan
Pemerintah membebaskan dari pengembalian utang KUT.[31]
Gerakan ekonomi
dan pendidikan NU sebenarnya tidak jalan di tempat, tetapi berjalan cukup
dinamis menurut ukuran tradisi NU sendiri. Namun jika dibandingkan dengan
perubahan zaman yang begitu cepat dan perkembangan di ormas-ormas keagamaan
lain, apa yang dicapai NU di dua sektor itu masih sangat tertinggal. Hal itu
bisa terjadi karena dua hal. Pertama, sikap hati-hati yang berlebihan,
sehingga perubahan masyarakat yang begitu cepat terlambat untuk disikapi. Kedua,
orientasi politik yang kuat di kalangan elite NU. Banyak elite NU yang menjadi
pengurus karena ingin mendapatkan jabatan politik baik di tengah masa
jabatannya maupun sesudahnya. NU pun sering menjadi kendaraan politik, atau
banyak orang bilang NU terkadang lebih politis dari partai politik.[32]
Berkaca dari
realita tersebut, perhatian NU terhadap pembangunan ekonomi umat mau tidak mau
harus gerakkan kembali. Dalam tubuh NU, setidaknya terdapat dua lembaga; 1)
Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU), yang bertugas melaksanakan
kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan ekonomi warga Nahdlatul Ulama,
2) Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU), yang bertugas
melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan pertanian,
lingkungan hidup dan eksplorasi kelautan.[33]
Hanya saja, menurut pengamatan penulis, dua lembaga tersebut belum berjalan
secara optimal. Di tingkat pusat mungkin saja banyak capaian yang diraih, namun
realitanya di tingkat bawah hampir bisa dibilang tidak ada atau tidak merata.
Ada banyak hal
yang bisa dilakukan LPNU dan LPPNU dalam rangka pengembangan ekonomi pedesaan.
Warga Nahdliyyin sebagai calon pengusaha dan LPNU serta LPPNU sebagai lembaga
yang mewadahinya dapat melakukan sinergi yang saling menguntungkan. Meniru
pengalaman Syirkah Mu’awanah, sinergi ini bisa dilakukan dengan mengadakan
pelatihan berwirausaha di desa-desa untuk memenuhi kebutuhan keterampilan
warga. Capaian yang dapat diagendakan dalam pelatihan tersebut adalah
memotivasi warga untuk berwirausaha, melatih menejemen, membangun relasi,
menggali informasi, serta memberikan bekal keterampilan yang dibutuhkan dengan
mempertimbangkan potensi yang dimiliki masing-masing desa.
Selanjutnya LPNU
dan LPPNU memberikan fasilitas permodalan. Fasilitas permodalan disini bisa
berupa pinjaman secara langsung dari lembaga atau hanya memfasilitasi dan
memberikan informasi untuk dilanjutkan kepada instansi-instansi perbankan yang
menyediakan modal. Dalam hal ini sebenarnya banyak lembaga-lembaga swasta
ataupun pemerintah yang menyediakan dana, baik pinjaman maupun hibah, untuk
modal dan pengembangan wirausaha. Hanya saja karena keterbatasan informasi
pesan itu tidak sampai di pedesaan. Maka LPNU dan LPPNU dapat berperan disana
dengan mengantarkan pesan-pesan itu hingga ke desa.
Setelah
keterampilan dan kebutuhan modal terpenuhi, tugas LPNU dan LPPNU adalah
mendampingi dan mengontrol pelaksanaannya. Selain itu, hal yang dapat dilakukan
adalah sinergi yang menguntungkan antara NU – dalam hal ini LPNU dan LPPNU -
dengan warganya. Keuntungan tidak hanya dimonopoli oleh warga Nahdliyyin yang
mendapat fasilitas cuma-cuma, tetapi harus ada timbal balik yang diterima oleh
NU sebagai sebuah lembaga.
Kongkretnya,
lagi-lagi sebagaimana praktik Syirkah Mu’awanah, nama besar NU bisa
dimanfaatkan warga yang sedang berwirausaha dengan mencantumkan logo lembaga di
setiap produk yang dihasilkan. Dari situ, warga sebagai produsen akan lebih
mudah memasarkannya lantaran mendapat legitimasi dari NU yang namanya telah
dikenal khalayak ramai. Sementara, nama NU semakin dikenal dan perhatiannya
dalam sektor ekonomi dapat dibaca banyak orang. Tentu, hal itu harus didasarkan
pada kesepakatan kedua belah pihak.
Demikianlah hal
kecil yang dapat diupayakan sebagai strategi pengembangan ekonomi warga
Nahdliyyin di pedesaan. Ketika hal itu berhasil dan membawa keuntungan yang
menjanjikan, tidak menutup kemungkinan mereka yang telah lama di rantau menjadi
kuli dan pekerja, memutuskan diri untuk pulang ke kampung halaman dan
berwirausaha. ‘Bali Ndeso Mbangun Deso’.
Hidup
di era keterbukaan pasar dan informasi meniscayakan masing-masing individu
untuk cermat dan kreatif dalam menjaga kelangsungan hidupnya. Penduduk desa
maupun kota tidak ada bedanya. Keduanya harus lihai memilih dan memilah peluang
berbuahkan uang. Menjalin relasi dan keterbukaan informasi menjadi penting
dalam rangka mengikuti kebutuhan zaman. Namun yang perlu dipegang, khususnya
warga Nahdliyyin, bahwa manusia hanya bisa berusaha, Allah-lah yang
menentukannya.
Keseimbangan
ikhtiar dan tawakkal harus dikendalikan, sebagaimana keseimbangan mengelola
perkara dunia dan akhirat. Jangan sampai gemerlap dunia menutup mata dari
memperhatikan akhirat. Dan bukan berarti pula menyibukkan diri dalam ibadah
sementara keberadaan dirinya di dunia terlupakan. Keduanya harus senantiasa
seimbang dan bersinergi. Wallahu a’lam. (
Ulin Nuha, Tulisan ini pernah di muat di Jurnal Khittah Vol II)
[1] “Jumlah Entrepreneur 2% Bisa
Jadi Negara Maju”, www.ekbis.sindonews.com, diakses tanggal 20 April
2015.
[2] Suud Fuadi, “NU Dan Kebangkitan
Ekonomi Umat”, www.hipsi.or.id,
diakses tanggal 20 April 2015
[3] Suud Fuadi, “NU Dan Kebangkitan
Ekonomi Umat”, ..., diakses tanggal
20 April 2015
[4] Suud Fuadi, “NU Dan Kebangkitan
Ekonomi Umat”, ..., diakses tanggal
20 April 2015
[5] Suud Fuadi, “NU Dan Kebangkitan
Ekonomi Umat”, ..., diakses tanggal
20 April 2015
[6] Lihat QS. Al-Baqarah: 30
Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para
Malaikat:"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi". Mereka berkata:"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau".
Rabb berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui".
[7] Lajnah Pentashihan Mushaf
al-Quran, Pembangunan Ekonomi Umat (Tafsir al-Quran Tematik), (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran Departemen Agama RI, 2009), hlm. 244-246
“Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya.”
[9] Dalam Islam, perubahan hukum
seperti ini disebut rukhshah. Rukhshah adalah sesuatu yang disyariatkan
atau diperbolehkan karena adanya udzur (alasan) yang mendesak dengan
tujuan menjaga hajat manusia. Udzur (alasan) dalam hal ini seperti
ketika berada dalam kondisi darurat. Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Wajiz fi
Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2014), hlm. 141
[10] Beliau bersabda: "Apabila
makan malam sudah dihidangkan, maka makanlah terlebih dahulu sebelum kalian
melaksankan shalat Maghrib. Dan janganlah kalian tergesa-gesa dalam
menyelesaikan makan kalian". (HR. Bukhari)
[11] Secara umum, ekonomi bisa
diartikan sebagai perilaku dan tindakan manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya yang bervariasi dan berkembang dengan sumber daya yang ada melalui
pilihan-pilihan kegiatan produksi, konsumsi dan atau distribusi.
“Dan Dialah yang menundukkan lautan (untukmu), agar
kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya, dan (dari lautan itu) kamu
mengeluarkan perhiasan yang kamu pakai. Kamu (juga) melihat perahu berlayar
padanya, dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur.”
Lihat juga QS. Al-Jatsiyah: 13:
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
kaum yang berfikir.”
“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu
adalah berhala, dan kamu membuat dusta.Sesungguhnya yang kamu sembah selain
Allah itu tidak mampu memberikan rizki kepadamu; maka mintahlah rizki itu di
sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya.Hanya kepada-Nya kamu
akan dikembalikan.”
[21] J. Winardi, Entrepreneur
& Entrepreneurship, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 1
[22] J. Winardi, Entrepreneur
& Entrepreneurship, ..., hlm. 2
[23] J. Winardi, Entrepreneur
& Entrepreneurship, ..., hlm. 23
[24] Yulia Hafizah, “Kuliah
Entrepreneurship dan Relevansinya
Terhadap Semangat Berwirausaha Mahasiswa Fakultas Syariah Dan Ekonomi
Islam Iain Antasari Banjarmasin”, e-Jurnal At-Taradhi, Volume 5
Nomor 2, Edisi Desember 2014
[25] Yulia Hafizah, “Kuliah
Entrepreneurship dan Relevansinya ...,
Edisi Desember 2014. Lihat juga Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah;
Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, (Jakarta: Alvabet, 2000), hlm. vi
[26] Ibid.
[27] Darwanto, “Peran
Entrepreneurship dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Peningkatan
Kesejahteraan” disampaikan dalam Diseminasi Riset Terapan Bidang Manajemen dan
Bisnis Tingkat Nasional Jurusan Administrasi Bisnis Politeknik Negeri Semarang,
2012, hal 17.
[28] Darwanto, “Peran
Entrepreneurship…., hlm. 17.
[29] Suud Fuadi, “NU Dan Kebangkitan
Ekonomi Umat”, ..., diakses tanggal
20 April 2015
[30] Suud Fuadi, “NU Dan Kebangkitan
Ekonomi Umat”, ..., diakses tanggal
20 April 2015
[31] Suud Fuadi, “NU Dan Kebangkitan
Ekonomi Umat”, ..., diakses tanggal
20 April 2015
[32] Suud Fuadi, “NU Dan Kebangkitan
Ekonomi Umat”, ..., diakses tanggal
20 April 2015
[33] Lihat www.nu.or.id, diakses tanggal 22 April
2014.