
Dengan sedikit berlari kecil menuju ruang kelasnya, siswa-siswi bergegas
menaggalkan tas gendongnya menuju halaman madrasah, disana Ustadz-ustadzah
sudah berbaris rapi mendampingi mereka. “Allohumma Sholli ‘Ala Muhammad!!!
Terdengar suara ketua IPNU mengawali nadhoman Asma’ul Husna dan wirid sholawat.
Sebagian siswa yang datang terlambat terpaksa harus berdiri di depan pintu
gerbang yang telah tertutup rapat, menunggu sampai selesainya lantunan penyejuk
qalbu pagi.
Inilah salah satu menu sarapan pagi warisan para ulama dan kyai sesepuh
pendiri madrasah sebagai upaya internalisasi nilai-nilai karakter dan
kepribadian yang ditanamkan kepada seluruh civitas academika Madrasah
Tarbiyatul Banin setiap pagi mulai dari unit pendidikan PAUD, Raudlatul Athfal,
Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah.
Ada sekitar seribu siswa lebih setiap harinya lalu lalang memadati jalan
gang Masjid Jami’ Darussalam Desa Pekalongan Kec. Winong Kab. Pati. Masyarakat
lebih sering menyebutnya dengan “gang Banin” karena di sepanjang jalan gang
tersebut berdiri lembaga pendidikan Islam Tarbiyatul Banin, mulai dari PAUD-RA,
MI, MTs, dan MA secara terpisah.
Sebagai madrasah tertua di wilayah Kecamatan Winong, wajar jika madrasah
Tarbiyatul Banin banyak dikenal masyarakat karena alumninya telah menyebar di
berbagai desa dan banyak yang menjadi tokoh panutan masyarakat. Selain itu
letaknya yang juga sangat strategis, yakni berada di desa yang menjadi pusat
lembaga pendidikan negeri dan swasta baik di bawah naungan Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan maupun Kementerian Agama.
Ditutup oleh Belanda, dibuka kembali oleh
Jepang
Sejak
berdirinya Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya yang antara lain didirikan oleh Kyai Abd.
Wahab Hasbullah dan Kyai Hasyim Asy’ari - Jombang, pengaruh perkembangan
pondok pesantren tersebar luas ke seluruh nusantara.
Perkembangan
pondok pesantren di wilayah Kabupaten Pati yang
lebih pesat adalah di Desa Kajen
Kec. Margoyoso, karena pengaruh dari Kyai H. Ahmad Mutamakkin (waliyullah) dan
dikembangkan oleh generasi penerus beliau yang antara lain adalah : KH. Abdus
Salam, diteruskan putranya bernama KH. Mahfudh Salam, KH. Abdullah Salam,
dengan sahabatnya KH. Munji, KH. Nawawi, dan KH. Anwar. Pondok pesantren
didirikan dengan nama Maslakul Huda dan Matholi’ul Huda lalu dikembangkan
dengan pendidikan formal dengan Madrasah Matholi’ul Falah di desa Kajen, Kec.
Margoyoso, di bawah Yayasan Nurussalam sampai sekarang diteruskan Oleh KH.
Abdullah Salam (adik KH. Mahfudh Salam) dan KH. Dr. MA. Sahal Mahfudh (putra
KH. Mahfudh Salam).
Di desa
Pekalongan Kec. Winong, terdapat kyai atau seorang ulama’ yang pernah belajar
bersama dengan Kyai Abd. Wahab Hasbbullah di Mekkah (mukim haji selama 7 tahun)
beliau adalah Kyai H. Ismail Bin Zaenal Abidin. Bersama saudara-saudaranya, beliau mendirikan langgar pondok
sederhana untuk mengaji secara privat mendalami Syariat Islam.
Pada tahun 1930
KH. Anwar beserta rombongan sebagai misi perkembangan pondok dan madrasah
bersilaturrahim ke rumah KH. Ismail bin Zainal Abidin di desa Pekalongan Kec. Winong yang masih
kosong belum ada madrasah dan masjidnya. Mereka melihat perlunya segera
didirikan sebuah lembaga pendidikan dengan system madrasah seperti yang sudah
ada di Kajen. Kemudian KH. Mahfudh
Salam membidani kelahiran madrasah di desa Pekalongan dengan nama Far’iyah
Matholi’ul Falah. Guru-gurunya dikirim dari Kajen antar lain KH. Sanadji, KH.
Fahrur Rozi dan guru bantu lainnya. Sedangkan KH. Mahfudh Salam sebagai mufatis
karena ilmu agamanya beliau dikenal pada saat itu sebagai presiden agama
(sumber sesepuh desa Pekalongan).
Sejak saat itu perjalanan madrasah Matholi’ul Falah di desa Pekalongan berjalan
lancar mulai dengan pendidikan sipir awal, stani dan sipir stalis baru ke
jenjang kelas 1, 2, dan 3. Tenaga guru dari Kajen bertempat transit di rumah
KH. Ismail dengan honorarium dan seluruh kebutuhan logostik ditanggung oleh
beliau. Kader guru lokal yang pertama kali diangkat oleh KH. Ismail (pengurus)
adalah KH. Jauhar bin H. Umar dan lalu KH. Siraj bin H. Shidiq (tahun 1939).
Selanjutnya ditambah dengan K. Abu Thoyib bin H. Umar (menantu KH. Ismail), K.
Ah. Fadlil dan K. Asyhuri Ridwan. Karena sudah cukup di anggap mampu untuk
berdikari maka Kepala Madrasah diserahkan kepada K. Jauhar bin H. Umar.
Pergerakan KH.
Mahfudh Salam meluas ke beberapa daerah sampai Jepara dan Rembang, maka
pemerintahan Belanda memandang hal itu sangat berbahaya dan memandang perlu
untuk diberantas. Dengan berbagai macam upaya Belanda maka KH. Mahfudh Salam
menjadi syahid ditembak Belanda. Dengan peristiwa tersebut Belanda dengan mudah
menutup semua kegiatan agama termasuk madrasah-madrasah di bawah asuhannya,
antara lain di desa Pekalongan,
Malangan (Karangrejo Pucakwangi) dan desa Sumberrejo Kec. Jaken.
Pada saat
itulah madrasah ditutup oleh Belanda lebih-lebih karena madrasah ini berada di
bawah pengawasan KH. Mahfudh Salam Kajen yang sangat ketat gerakannya diawasi
oleh Belanda.
Pada tahun 1943
K. Jauhar bin H. Umar memberanikan diri untuk menghadap Sche Cho Kang (Bupati
Jepang untuk wilayah Pati) dan Sche Cho Kang kakak (wilayah Rembang) minta agar
madrasah Matholi’ul Falah di desa Pekalongan Winong Pati yang telah ditutup
kegiatannnya dapat dibuka kembali dengan berbagai alasan. Akhirnya dapat diijinkan untuk dibuka kembali
dengan syarat-syarat :
1.
Harus tunduk pada pemerintah Nippon (Jepang)
2.
Sanggup mengikuti upacara Jepang
3.
Tidak boleh bergerak di bidang politik
4.
Bersedia memakai seragam militer Nipppon
5.
Melepaskan diri dari ikatan Kyai Kajen.
Dengan berjalan kaki dari Pati
ke Pekalongan, K. Jauhar mengabarkan hal tersebut kepada KH. Ismail. Setelah
bermusyawarah dengan para tokoh lainnya, dengan pertimbangan demi kelangsungan
pendidikan madrasah maka syarat-syarat itu diterima dan perjanjian pun
ditandatangani. Madrasah diijinkan untuk dibuka kembali.
K. Jauhar
diserahi dan diangkat Nippon menjadi Sumu Thihao Sche Dong (penerangan Agama Islam
untuk distrik atau kawedanan Jakenan) dan madrasah-madrasah lainnya pun
disarankan di buka.
Mulai saat itu
madrasah Matholi’ul Falah Pekalongan dirubah namanya menjadi Madrasah
TARBIYATUL BANIN yang dapat diartikan pendidikan untuk anak-anak yang belum
mengenal politik. Perjalanan madrasah pada jaman pemerintahan Nippon tidak ada
hambatan yang berarti, karena dapat mengatur sikap sesuai kondisi pada saat
itu.
Meskipun secara
struktural Madrasah Tarbiyatul Banin sudah tidak berhubungan lagi dengan Mathali’ul
Falah di Kajen, namun secara kultural hubungan itu tak akan pernah bisa
diputuskan begitu saja. Disamping itu pemerintah Jepang tidak lagi mempedulikan hal tersebut.
Selanjutnya
pada tahun 1997 Pengurus Madrasah Tarbiyatul Banin mengubah diri menjadi sebuah
Yayasan dengan nama Yayasan Perguruan Agama Islam Tarbiyatul Banin yang
didaftarkan dalam Akta Notaris Sdr. Sugianto, SH
Pati Nomor : 11 Tahun 1997 tanggal 6 Juni 1997 dan telah terdaftar pada
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Pati Nomor 18/1997/A.N/K/Y tanggal 21 Juni 1997,
dengan nama Yayasan Tarbiyatul Banin.
Dalam
perkembangannya Yayasan Tarbiyatul Banin sampai saat ini telah mengelola beberapa
unit pendidikan da usaha antara lain; unit
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), unit pendidikan Raudlotul
Athfal, unit pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, unit pendidikan Madrasah
Tsanawiyah, unit pendidikan Madrasah Aliyah, unit pendidikan Pondok Pesantren
dan Koperasi Pondok Pesantren, serta unit Lembaga Pelatihan Kerja Swasta.
LPKS; Menjawab Kebutuhan Dunia Kerja
Untuk mengimplementasikan visi dan missi pendidikan di madrasah Tarbiyatul
Banin tersebut, maka siswa tidak hanya dituntut memiliki kecakapan dalam
penguasaan ilmu-ilmu agama Islam klasik (kitab kuning) dan ilmu pengetahuan
umum, namun juga dibekali dengan berbagai kecakapan hidup (lifeskill)
dan berbagai ketrampilan. Di Madrasah ini, siswa-siswi juga dimanjakan dengan
berbagai kecakapan dan keterampilan yang dikembangkan memalui kegiatan
ektrakurikuler, antara lain Banin Sport Club,
Banin Arabic and English Club, Jurnalistik (Buletin, Mading, dan Majalah),
Jam’iyatul Qurra wa sholawat, Seni Beladiri Pencak Silat, dan lain-lain.
Tujuannya adalah untuk membekali peserta didik yang setelah lulus dari Madrasah
Aliyah Tarbiyatul Banin memiliki kecakapan hidup yang dibutuhkan oleh masyarakat
luas dan dunia kerja. Disamping itu juga sebagai media penggalian dan
pengembangan minat bakat siswa.
Sejak tahun 2012 MA Banin telah bekerjasama dengan Dinas Sosial Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (Disosnakertrans) Kabupaten Pati dengan mendirikan
Lembaga Kursus dan Pelatihan Kerja Swasta (LPKS) yang bergerak di bidang
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia tenaga kerja yang siap pakai untuk
bekerja dan berwirausaha secara mandiri. Semua siswa lulusan LPKS ini akan
memperoleh sertifikat resmi dari Disosnakertrans, penempatan magang serta
memperoleh berbagai macam info kerja (Job Fair).
Berdirinya Lembaga Kursus dan Pelatihan Kerja di madrasah ini menjadi jawaban
bagi para siswa, orang tua, dan masyarakat pada umumnya yang memandang bahwa
lulusan madrasah tidak banyak bisa bicara apa-apa ketika dihadapkan pada
kebutuhan dunia kerja. LPKS ini juga menjadi solusi bagi masyarakat yang
menginginkan anaknya memiliki kecakapan dan ketrampilan khusus sebagaimana yang
dimiliki oleh Sekolah Menengah Kejuruan. Di Madrasah Aliyah Tarbiyatul Banin
sampai saat ini baru membuka 3 program studi pilihan yaitu bahasa, IPA, dan IPS
sebagaimana madrasah aliyah lainnya.
“Banyak siswa yang semula berkeinginan masuk ke Sekolah Menengah Kejuruan,
kemudian mengalihkan pilihannya ke madrasah aliyah setelah mengetahui bahwa di
MA Tarbiyatul Banin ini ternyata tidak hanya digembleng ilmu-ilmu keIslaman,
ngaji kitab, pembinaan akhlaqul karimah, tetapi juga diberikan berbagai macam pengetahuan
dan praktek ketrampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja” ungkap Drs. H. Ah.
Adib Al Arif, M.Ag selaku Kepala Madrasah.
Setelah terbitnya ijin operasional resmi dari Dinas Sosial dan tenaga Kerja
Kabupaten Pati, maka LPKS “An Najah Tarbiyatul Banin” membuka 3 jenis program
vokasional yaitu :
1. Komputer; paket microsoft office dan Design
Grafis
2. Otomotif sepeda motor; sistem engine, sistem
bahan bakar, sistem pelumasan, sistem kelistrikan, dan pemeliharaan atau
service.
3. Menjahit; mengukur tubuh, menggambar pola,
memotong bahan, dan menjahit.
Pada awal berdirinya, program vokasional ini tidak begitu diminati karena
tidak menjadi program studi wajib di madrasah. Namun berkat kerja keras
pengelola, Bp. Shodiq Annur, S.Pd yang juga guru Bahasa Inggris di MA
Tarbiyatul Banin dan para instruktur, akhirnya LPKS Tarbiyatul Banin kini menjadi program idola bagi siswa-siswi yang
menginginkan ketrampilan tambahan sebagai bekal ketika lulus dari madrasah.
Khususnya siswa-siswi yang setelah lulus ingin langsung bekerja di
perusahaan-perusahaan bonafit atau secara mandiri membuka usaha di rumah karena
sebagian besar siswa MA Banin adalah berasal dari keluarga ekonomi menengah ke
bawah.
Program vokasional yang dikembangkan oleh
LPKS Tarbiyatul Banin ini ternyata mendapat respon serius dari
pemerintah daerah melalui Dinas Sosial dan Tenaga Kerja serta dari Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten dan provinsi dalam bentuk kerjasama,
baik dalam penyediaan Instruktur pelatihan menjahit, otommotif, dan komputer
juga kesempatan untuk menyelenggarakan berbagai macam pelatihan kerja dengan
Balai Latihan Kerja Daerah seperti pelatihan sablon manual, magang industri
garmen, job fair, dan lain sebagainya.
Hasil dari pelatihan di LPKS sudah mulai diakui oleh pemerintah, antara lain melalui kerja sama
dengan perusahaan Garmen dan Disperindag Provinsi Jawa Tengah dengan
mengirimkan 55 orang peserta didiknya untuk mengikuti pelatihan kerja selama 20
hari di Semarang, dan selesainya pelatihan langsung ditempatkan di
perusahaan-perusahaan garmen dalam dan luar negeri.
Melihat respon positif dari siswa dan pemerintah terhadap keberadaan LPKS
di Madrasah Aliyah Tarbiyatul Banin ini,
maka mulai Tahun Pelajaran 2015-2016 pengelola LPKs membuka program kursus dan
pelatihan untuk masyarakat umum yang pesertanya tidak hanya dari siswa-siswi MA Banin tetapi juga para
alumni dan masyarakat sekitar yang menginginkan ketrampilan kerja dengan
sertifikat resmi.
Banin Batik; berawal dari Pra Karya kini jadi
Icon Madrasah
Sejak diberlakukannya kurikulum 2013 oleh pemerintah, maka seluruh sekolah
dan madrasah wajib memasukan beberapa mata
pelajaran baru dalam kurikulum satuan pendidikan. Salah satunya adalah pelajaran
Pra Karya dan kewirausahaan.
Sebagian besar sekolah dan madrasah mengisi kurikulum pra karya dan
kewirausahaan dengan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi, yang
dalam kurikulum 2013 tidak lagi masuk sebagai mata pelajaran wajib. Namun di MA
Tarbiyatul Banin mata pelajaran Pra Karya dan Kewirausahaan diisi dengan
ketrampilan membatik, dengan alasan
bahwa muatan kurikulum mata pelajaran ini juga mengarah pada ketrampilan
berwirausaha, disamping itu juga secara kebetulan guru pengampu mata pelajaran
Pra Karya dan Kewirausahaan untuk Kelas X ini memiliki kompetensi membatik dan
di rumahnya sudah membuka usaha batik tulis.
Di luar dugaan, ternyata respon dari peserta didik terhadap pelajaran
membatik cukup baik. Mereka sangat antusias mengikuti pelajaran pra karya ini,
siswa-siswi dengan semangat tinggi tidak hanya di praktik membatik di pagi hari, tetapi sepulang sekolahpun mereka
masih tekun berada ruang ketrampilan untuk menyelesaikan tahapan-tahapan
membatik yang cukup rumit dan membutuhkan kesabaran tinggi.
Ada sembilan tahapan yang harus dilalui dalam proses membatik, yaitu : (1).
Menyiapkan pola gambar batik sesuai selera, (2) kain katun dengan ukuran yang
dikehendaki direndam dengan penghilang lapisan lilin selama satu malam kemudian
dibilas sampai bersih dan dijemur sampai kering, (3) pola yang sudah disiapkan diblat
(dijiplak) di kain dengan pensil 2b, (4) kain dicanting menggunakan kuas atau
alat canting listrik (5) selesai mencanting kain di colet dengan pewarna yang
dikehendaki atau dicelup dengan warna, (6) Ngeblok, yaitu proses
menutupi warna yang dicolet atau warna yang ingin dipertahankan dengan bahan malam,
(7) selesai ngeblok kain diberi warna dasar sesuai selera, (8) mengunci warna
dasar menggunakan teknik khusus, (9) Nglorod, yaitu proses menghilangkan
lapisan lilin dengan cara direbus, kemudian dikeringkan.
“Lamanya waktu proses membatik ini bermacam-macam mulai dari satu minggu
sampai ada yang satu bulan, tergantung pola gambar dan tingkat kerumitan
pewarnaan. Inilah yang menjadikan harga batik tulis asli mahal pak.."
”utur Ibu Tri Widayati, S.TP, guru pembimbing pra karya membatik di MA
Tarbiyatul Banin.
Dari ketrampilan membatik ini, siswa-siswi secara berkelompok sudah mampu
menghasilkan produk kain batik sendiri, mereka modal sendiri membeli kain dan
bahan-bahan membatik lainnya, sedangkan peralatan membatik dibelikan oleh
madrasah. Walhasil, produk yang dihasilkan mendapat apresiasi yang cukup bagus
dari bapak ibu guru lainnya sehingga seragam batik untuk bapak dan ibu guru pun
akhhirnya dipesankan kepada mereka.
“Kami sangat bangga dan tertantang untuk menghasilkan produk batik tulis
yang lebih banyak lagi semenjak produk batik tulis kami dipakai untuk seragam
bapak dan ibu guru” ujar Masruri salah satu siswa asuhan Gerakan Orang Tua Asuh
MA Banin. meskipun belum ada setahun, tapi siswa-siswi telah menghasilkan
berbagai motif batik tulis antara lain motif mawar sebar, parang garuda, suroh,
dan lainnya. Tema motif kebanyakan diambil dari lingkungan dan budaya lokal
kabupaten Pati.
Seperti halnya Masruri, keterampilan membatik juga diberikan kepada siswa-siswi
yang tergabung dalam Gerakan Orang Tua Asuh (GOTA). Sampai saat ini jumlah
siswa asuh yang tertampung dalam GOTA ada 26 siswa, dari siswa madrasah Aliyah
dan madrasah Tsanawiyah Tarbiyatul Banin. Meskipun jumlah siswa kurang mampu di
madrasah ini lebih dari itu, namun kemampuan anggaran yang dimiliki GOTA masih
sangat terbatas, sehingga terpaksa quota yang diberikan juga terbatas.
Gerakan orang tua asuh ini diprakarsai oleh bapak ibu guru madrasah Aliyah
Tarbiyatul Banin yang dengan ikhlas menyisihkan sebagian dari bisyaroh atau
honorariumnya untuk membantu siswa-siswi dari keluarga kurang mampu (yatama dan
dhu’afa).
Jenis bantuan yang diberikan oleh GOTA kepada siswa asuh berupa bantuan
untuk biaya bulanan pendidikan dan iuran-iuran lainnya. Bila dilihat dari
nominal bantuan memang masih terhitung kecil akan tetapi gerakan ini harus
diapresiasi sebagai wujud kepedulian masyarakat terhadap dunia pendidikan.