
Bahtsul Masail ini
dipimpin oleh KH. Abdul Madjid selaku Wakil Rais Syuriyah MWCNU Trangkil. Peserta
terdiri dari para kiai utusan ranting se-Kecamatan Trangkil. Pengurus MWCNU
Trangkil, Ranting dan tokoh masyarakat juga aktif mengikuti, seperti Rais
Syuriyah KH. Badruddin Syathibi, Ketua Tanfidziyah Bapak Taifur Alam, S.Ag.,
Bapak Sya’roni, M.Pd., K. Susanto, Bapak K. Nursalim, K. Rahmat, Bapak K.
Nurkasio, K. Said, KH. Ihsan Shobari, K. Supandi, K. Irham Asmani, K. Ruhani, dan
lain-lain.
Dalam Bahtsul Masail
ini beberapa akademisi datang, yaitu Dr. H. Abdul Karim, H. Zumradi, M.Ag, dan
Dr. Jamal Ma’mur, MA. Dalam perdebatan sengit tentang Islam Nusantara akhirnya
disepakati bahwa Islam Nusantara adalah Islam ala Ahlussunnah Wal Jamaah
An-Nahdliyyah dengan sifat tasawwuth (moderat), tasamuh
(toleran), infitah (inklusif), tawazun (seimbang), dan i’tidal
(tegak lurus) yang dipraktekkan oleh Walisongo dan para ulama pendiri NU,
seperti Hadlratussyekh KH. M. Hasyim Asy’ari.
Adapun metodologi yang
digunakan Islam Nusantara adalah sebagai berikut: Pertama, berorientasi kepada
tujuan hukum syariat (maqasidus syariah), yaitu menjaga agama, jiwa,
harta, akal, dan keturunan. Kedua, menggunakan sumber-sumber hukum utama dan
pengembangannya, seperti al-Qur’an, hadis, ijma’, qiyas, maslahah, istihsan,
‘urf, dan saddu al-dzari’ah. Ketiga, melakukan kontekstualisasi teks-teks fiqh.
Keempat, verifikasi mana ajaran yang ushul (pokok) yang tidak berubah
dan mana ajaran yang furu’ (cabang) yang bisa berubah. Kelima, menjadikan
fiqh sebagai etika sosial, bukan hukum positif Negara.
Para peserta bahtsul
masail dihimbau untuk mengembangkan manhaj istinbath hukum, dari qauli
(tekstual) menjadi manhaji (metodologis) sesuai keputusan Munas Lampung tahun
1992 yang memperbolehkan bermadzhab secara manhaji dengan aplikasi kaidah fiqh (qawaid
fiqhiyyah) dan kaidah ushul fikih (qawaid ushuliyyah) jika tidak ada
pendapat ulama yang mampu menjawab masalah.
Referensi yang digunakan juga harus bersifat jama’i
(kolektif) yang saling melengkapi dalam satu rumusan yang komprehensif, karena
masalah yang dijawab bersifat jama’i, tidak hanya berkaitan dengan satu
hal saja.
Dalam bahtsul masail
ini para peserta menjadi sadar bahwa mendakwahkan Islam harus mempertimbangkan
konteks sosial yang ada supaya Islam bisa diterima dengan legowo. Para
Walisongo, khususnya Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, dan Sunan Muria, sangat lihai
membaca budaya lokal sebagai pintu masuk mendakwahkan ajaran-ajaran Islam.
Budaya lokal tidak
dijadikan penghalang dalam berdakwah, justru sebagai senjata dalam berdakwah
dengan memberikan sentuhan nilai-nilai Islam sehingga masyarakat tertarik dan
masuk Islam tanpa paksaan, tapi dengan kesadaran dirinya sendiri. Tradisi
selametan, manakiban, tahlil, halal bi halal, dan lain-lain merupakan karya
sosial religius Walisongo yang harus dilestarikan karena mampu menggabungkan
dimensi keislaman dan budaya lokal sebagai kekayaan bangsa yang luar biasa.
Bisa dibayangkan jika
Walisongo datang kemudian melarang praktek-praktek budaya lokal yang ada, maka
kemungkinan yang terjadi adalah perlawanan sengit masyarakat terhadap ajaran
yang dibawa Walisongo. Islamisasi budaya yang menjadi strategi dakwah Walisongo
terbukti efektif mengislamkan orang-orang Jawa yang sebelumnya memeluk ajaran
Hindu-Budha. Walisongo mengikuti cara dakwah Nabi yang mengedepankan
keteladanan dan kelembutan, tidak dengan paksaan dan permusuhan.(ni')