
‘Lokasi’
lahir yang berdekatan dengan kebodohan, kekolotan dan kemelaratan bangsa
terjajah harus membuat NU mampu menjadi wadah, bukan malah menjadi menara
gading yang congkak. Wal hasil tercetuslah
NU yang seperti sekarang ini. Akantetapi—seperti dikatakan sebelumnya—meski hadir
dengan tema tradisional, modernitas tetap menjadi satu bagian wajib dalam
rangka membangun “mitra” dengan roda zaman. Penyelarasan ini sebenarnya telah
dideklarasikan secara leteral dalam bentuk kaidah. Pemeliharaan terhadap
eksistensi tradisionalitas diseguyubkan dengan pengamalan nilai-nilai modern
yang dianggap lebih baik menjadi tolak ukur NU dalam memahami masa depan.
Demikianlah yang acap kali didengungkan oleh kyai-kyai NU hingga para guru
mulok (muatan lokal) Ke-NU-an di madrasah-madrasah.
Hemat
penulis, dari kaca mata ini terlihat jelas bahwa modernitas dan tradisionalitas
merupakan barang yang wajib adanya bagi NU. Ibarat dua mata uang dalam satu
koin, dua-duanya adalah suatu yang niscaya untuk diaplikasikan. Hanya saja
penyalahartian tentang tradisionalitas yang disamaratakan dengan
konvensionalitas masih sering berdengung di kawasan anti NU. Maka wajar jika
posisi NU semakin terdesak ditepian zaman ‘modern’. Para hater yang sejatinya belum
terlalu jauh memahami NU, dengan segala kepentingannya mengobrak-abrik asumsi
pasar soal kekolotan organisasi bikinan KH. Hasyim Asy’ari ini. Akhirnya,
tercetuslah gagasan yang diiyakan secara global bahwa NU disamadengankan tradisional,
dan tradisional sama dengan kolot. Dengan rumus singkatnya, kolot sama dengan
NU.
Terkait
kekurangan dan kelebihan NU sebagai organisasi yang notabenenya ‘hand made’ umat manusia—bukan buatan
tuhan seperti agama—memojokkan NU dengan
satu alasan logis ini bisa saja dibenarkan. Namun wajah NU yang sedemikian rupa
sebenarnya merupakan salah satu cara untuk mewahanai hajat umat Indonesia dalam
banyak aspek. Dibalik anggapan miring NU kolot yang berdengung, sejatinya dalam
tubuh NU tersimpan pola pemikiran ulama yang begitu maju untuk memajukan
Indonesia.
Berangkat
dari sebuah kaidah tentang penyelarasan antara tradisionalitas dan modernitas,
NU menjadi ikon terpenting yang harus ada. Eksistensi karakter organisasi
semacam ini mutlak dimiliki oleh segala
jenis bangsa manusia di dunia. Tanpa penggabungan antara tradisionalitas dan
modernitas, mustahil sebuah bangsa bisa menemukan titik ghoyah-nya, memajukan peradaban sekaligus meniadakan penindasan
karakter. Begitu banyak bangsa maju di era dunia ke tiga ini, namun tak sedikit
pula dari mereka yang kehilangan jati diri karena melewatkan sejarah bangsa
dalam modul pembangunan.
Tradisi
merupakan bahan baku budaya yang menyejarah, sementara tanpa memahami betul sejarah
dan budaya bangsa, maka kemajuan akan terasa pincang sebab kebutaannya terhadap
karakter asli bangsa.
Diteropong
dari rongga ini, NU dengan segala keunikanya tentu saja bukan organisasi
sembarangan. Karakternya telah didesain sedemikian rupa oleh ‘arsitek’ ulung
sekelas KH. Hasyim Asy’ari CS sehingga mampu menampung berbagai macam aspirasi
baik yang bersifat tradisi ataupun yang kekinian bahkan yang berasal dari masa
depan. Kaum intelek menyebutnya dengan istilah yang cukup keren : toleran.
Waktak
toleran terhadap kemajuan zamannya serta jadugnya
NU dalam mempertahankan tradisi tanpa disadari telah membawa organisasi ini
pada sebuah level penyatuan tradisionalitas dan modernitas yang membentuk satu aliran baru—sebaru-barunya—yakni
neo-modernisme. Sebuah istilah untuk menyebut pembaharuan modern.
Kata
modern terkadang masih terdengar ‘angkuh’, kekinian, kota dan hal-hal maju
lainnya. Namun tanpa sadar, NU yang dianggap kolot telah memodernkan
kemodernisasi dengan emblem gagah neomodernisme. Hebatnya lagi, kondisi semacam
ini telah diteropong oleh para pendirinya sejak tahun 1926, sekitar sembilan
puluh tahun lalu, dan baru sekarang terkuak. Dalam konteks ideologi
neomodernisme ini, Indonesia menjadi satu negara yang paling beruntung karena
memiliki NU.
KH.
Hasyim Asy’ari mafhum betul bahwa Indonesia butuh NU, maka beliau tidak mau
sembarangan dalam meracik organisasi ini. Hanya saja, NU acap kali dianggap sebagai satu hal yang
biasa-biasa saja oleh bangsa Indonesia bahkan oleh para kadernya. tanpa disadari
bahwa NU adalah masterpiece yang
sekaligus menjadi pilar utama peradaban manusia Indonesia. Namun sayang, dengan
resep yang telah digodhog hingga benar-benar matang oleh KH. Hasyim Asy’ari CS
dalam ‘membuat adonan’ NU yang istimewa, saat ini malah cenderung dipandang
sebelah mata. Kekonyolan paradigma khususnya oleh para kader NU terhadap
organisasinya sendiri inilah yang kian menggerogoti tubuh NU sendiri secara
perlahan. Mereka menganggap NU adalah ‘warisan’ yang biasa-biasa saja ini, wal hasil Indonesiapun turut menjadi
negara yang hambar dan biasa-biasa saja. Ketidaksadaran bahwa Indonesia butuh
NU-atau setidaknya butuh organisasi
semacamnya—inilah yang harus dibangunkan dari tidur lamanya.
Neomodernisme
menjadi paku bumi mendirikan bangunan negeri yang ingin maju, tak terkecuali
Indonesia yang hanya mengekor pada kolonialisme model mutakhir yang berkedok
modernisme. Dengan penerapan faham neomodernisme yang diusung NU, Indonesia
benar-benar akan menjelma—bukan hanya—sebagai negara maju, namun juga menjadi barang
istimewa sebagaimana dicita-citakan hadratusysyaikh
Soekarno CS. (Maulana
Luthfi Karim Penulis
merupakan peneliti di Paradigma Institut, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta)