Bangsa Indonesia sedang menghadapi
permasalahan krusial, seperti tingginya angka kemiskinan, korupsi yang
merajalela, mafia hukum yang merebak dalam berbagai sisi kehidupan, dan konflik
antar keyakinan agama. Permasalahan tersebut mau tak mau telah membuat proses
keadaban bangsa kita menjadi lapuk dan terkikis sedikit demi sedikit. Kesadaran
bangsa menjadi berkurang dimana kepentingan individu maupun golongan lebih
diutamakan. Elemen bangsa kesulitan membangun kesadarannya berdasarkan
moralitas, bukan kepentingan yang lain. peradaban bangsa ini sedang dipertaruhkan karena peradaban
yang seyogyanya diagungkan dan dijaga eksistensinya kini terkikis dari ranah
publik. Maka dari itu, kekuatan masyarakat memiliki peran yang besar untuk
mengembalikan fitrah peradaban Indonesia, sehingga dapat mencegah degradasi
keadaban yang lebih parah.
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi Islam
terbesar di Indonesia. Kiprah NU tidak lepas dari tanggung jawab untuk memberikan
kontribusinya secara nyata dalam membangun cita-cita peradaban bangsa yang
luhur. NU bertanggungjawab tidak hanya memberikan kontribusinya yang
dialamatkan kepada jamaah NU, tetapi organisasi ini mendorong tampuk perjuangan
yang lebih besar, yaitu merangkul seluruh elemen bangsa yang ada di Indonesia
untuk bersatu padu membangun sebuah peradaban yang digadang-gadang dari dulu.
NU meyakini bahwa keruntuhan bangsa dimulai ketika keadaban bangsa dibelenggu
oleh kepentingan pribadi maupun institusi. Moralitas berperan penting dalam
membangun peradaban dan mengembalikan pemberdayaan masyarakat pada kodratnya.
NU, yang sejak semula berlandaskan
pada wawasan yang mendorong pembentukan ide kebangsaan, memberikan
kontribusinya dalam ranah keagamaan yang berpegang pada tawassuth
(moderat), tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan) , dan i’tidal
( keadilan). Prinsip dasar tersebut
seiring sejalan menjadi tonggak perjuangan dari NU untuk mengedepankan
kehidupan suasana toleran dan moderat, jauh dari kekerasan yang akhir-akhir ini
menjadi marak diperbincangkan. Sikap dasar NU tersebut mendorong generasi
bangsa yang mengedepankan hidup toleran, dan merespons secara bijak mengenai isu-isu keagamaan
di tanah air.
NU pun meletakkan fondasi besar yang
semestinya, ketika mempelopori penerimaan Pancasila sebagai asas bernegara dan
bermasyarakat terhadap umat Islam. Pancasila sebagai konsepsi dasar bagi NU,
merupakan titik-balik
dalam memberikan kontribusi yang sesuai terhadap cita-cita luhur bangsa
Indonesia. NU pun akan terus melontarkan ide-ide kebangsaannya, sesuai dan
sejalan dengan cita-cita peradaban bangsa Indonesia, sejak NU digagas oleh K.H
Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah.
Pencarian peradaban bangsa yang luhur terus menajdi cita-cita ideal
dalam mengyongsong perubahan pada masyarakat, baik dalam skala nasional maupun
Internasional.
Secara konseptual, NU sebagai bagian
dari kekuatan masyarakat merambah jalan keadaban dan pemberdayaan untuk meraih
cita-cita Indonesia. Dengan jalan yang berliku, tidak mudah untuk membangun
kekuatan masyarakat sehingga bersatu padu menapaki kesejahteraan yang
digadang-gadang bersama oleh bangsa Indonesia. NU, dengan perspektif dan
cita-citanya, telah membangun prinsip dasar umat terbaik yang bertumpu pada
moralitas, tanggung jawab dan pembangunan keadaban bangsa dengan semangat
kebersamaan lintas agama dan keyakinan. Keadaban bangsa Indonesia tidak lepas
dari kekuatan masyarakat yang berperan mendorong kesejahteraan hidup yang
ditopang kokoh dalam praktik kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Harapan untuk Kemajuan
Harapan untuk perubahan dan kemajuan
NU selalu digadang-gadang sejak dulu. NU, yang diwarnai oleh sejarahnya dan
dinamika, tak luput
dari ide-ide dari para ulama, akademisi, maupun aktivis NU. Pembangunan dan
pemberdayaan menjadi tonggak utama, yang mana jika hal tersebut tidak
dilakukan, maka sejumlah eksponen kultural NU dari berbagai penjuru tanah air
akan mengkritik habis-habisan seperti pada kasus Hasyim Muzadi yang dianggap
memanfaatkan NU dan lebih mementingkan kepentingannya sendiri. Kepemimpinan
tersebut yang dikritik berbagai pihak menunjukkan keseimbangan NU secara
kultural maupun secara struktural. NU bukanlah kendaraan politik yang bisa
dengan mudah digunakan oleh perseorangan. NU adalah penyeimbang yang
memberdayakan imat, dan NU memiliki kesistimewaannya tersendiri sebagai ormas
dengan sejarah, budaya dan tradisinya yang secara turun temurun tercermin dalam
pengambilan keputusan krusial untuk mencapai kemaslahatan bangsa.
Reformasi NU, yang dikenal
meletakkan NU jauh dari kepentingan politik elite, memformat beebrapa hal
penting. Salah satunya adalah pandangan Khittah 1926, yang mana pandangan
tersebut meniscayakan adanya wawasan keagamaan yang mampu menerjemahkan visi
keulamaan dalam konteks pemberdayaan, pencerdasan dan penyejahteraan
masyarakat. Kebangkitan tersebut tidak menunjukkan individu, akan tetapi lebih
menitik beratkan pada sistem dan orientasi keulaamaan. Kebangkitan ulama, yang
biasa kita kenal sebagai nahdlatul ‘ulama
harus sejalan dengan kebangkitan masyarakat yang biasa kita kenal sebagai nahdlatul ummah. Maka dari itu, tgas
keulamaan tidak lain tidak bukan adalah mencerahkan dan mensejahterakan umat,
melalui pemberdayaan masyarakat.
Sikap Khittah 1926, yang menjadi
topik hangat akhir-akhir ini merupakan kelanjutan dari penerjemahan dari
pandangan khittah. Sikap khittah meniscayakan adanya upaya pemberdayaan dan
pembebasan warga NU dari kemiskinan dan kelaparan. Para ulama menyetujui bahwa
pengembangan ekonomi sejalan dengan pembangunan dan pengembangan tradisi
keilmuan. Kebangkitan para ulama akan merespons adanya kebangkita para pedagang yang
disebut sebagai Nahdhatut Tujjar.
Fungsi dari keulamaan tidak hanya pada sekop yang kecil yaitu keilmuan, tetapi
juga merangkul adanya sekop fungsi pemberdayaan ekonomi. Sikap khittah tersebut
menandai adanya transformasi sosial dari kalangan masyarakat NU.
Lebih jauh, sikap khittah dalam
konteks sekarang menyimpan sebuah harapan adanya kehidupan ekonomi di tingkat
mikro, yaitu ekonomi kerakyatan. NU menitikberatkan pada kehidupan dan
penghidupan ekonomi kerakyatan atau ekonomi mikro, pada pemberdayaan petani,
nelayan dan buruh. NU menaruh perhatian pada ekonomi kerakyatan, karena NU
hakikatnya adalah organisasi kemasyarakatan yang diamanatkan dapat melakukan
kerja pemberdayaan, khususnya pada bidang ekonomi.
Realita Pemberdayaan Ekonomi Mikro
Dalam
tradisi keilmuan, NU memiliki posisi sebagai garda terdepan. Wawasan keagamaan
di tangan NU adalah wawasan moderat, dan NU dikenal sebagai komunitas muslim
yang humanis dan pluralis. Abdurrahman Wahid terkenal sebagai sosok yang dapat
mempertahankan dan mengembangkan kemoderatan Islam ala NU. Dalam hal
pemberdayaan dan kesejahteraan sosial, NU berada pada shaf paling belakang
dengan ormas lain. hal itu dikarenakan sikap khittah yang dicederai oleh
politik praktis dan elite NU yang mengutamakan kepentingan diri sendiri.
Ironis memang, namun itulah
kenyataan yang terjadi, menilik pada ideologi yang berkembang sedemikian rupa
dari para politik praktis. Pemberdayaan masyarakat yang digadang-gadang sebagai
transformasi sosial penyeimbang ekonomi kerakyatan, menjadi pincang dalam hal
praktik di masyarakat. NU semestinya menegakkan lagi eksistensi dirinya sebagai
organisasi sosial keagamaan yang tidak berpolitik praktis serta mampu merawat
masyarakatnya dalam menyongsong keberhasilan yang digadang bersama.(Niken Kinanti S.ST)
Daftar pustaka
Demoralisasi
Khittah Nu dan pembaruan. Ahmad Nurhasim dan Nur Khalik Ridwan. 2004/
Pustaka Tokoh Bangsa: Yogyakarta
Nahdlatul
Ulama Dinamika Ideologi Dan Politik Kenegaraan.
2010. Penerbit Buku
Kompas. Jakarta.
Ulama
Perempuan Indonesia. Jajat Burhanudin. 2002. Gramedia. Jakarta.