Oleh: Faiz Aminuddin* Warga di kawasan Asia Tenggara
sebentar lagi akan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean yang akan dimulai pada
tanggal 31 Desember 2015, atau awal tahun 2016. Secara ekonomis, ini merupakan
peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan perekonomian nasional melalui pengembangan
basis ekonomi ke negara-negara Asean lainnya. Mengingat MEA merupakan komunitas
kerjasama perdagangan bebas yang mencakup SDM (tenaga kerja terlatih), investasi,
barang dan jasa yang sudah tidak ada batasan atau hambatan lagi.
Di sisi lain, MEA ini juga menjadi
tantangan karena dari sisi kualitas SDM di Indonesia secara umum masih di bawah
negara-negara Asean yang lain. Tenaga kerja Indonesia yang tidak memiliki
keahlian atau keterampilan akan kalah bersaing di pasaran, dampaknya mereka akan
semakin terpinggirkan dan tidak terpakai (terpuruk).
Masalahnya, meskipun kehadiran MEA
sudah di depan mata tetapi belum ada gerakan nyata dari pengurus NU di semua
level baik dari pusat sampai cabang untuk mempersiapkan warganya menghadapi
MEA. Selama ini, gerakan yang terlihat masih berkutat dalam wacana di forum-forum
diskusi, seminar, sarasehan, atau tulisan-tulisan di berbagai buku dan media. Kalaupun
beberapa gerakan sudah mulai muncul, hal itu masih dalam skala kecil.
Padahal, nantinya terdapat puluhan
juta warga NU di seluruh Indonesia yang akan terkena dampak langsung ataupun
tidak langsung dari MEA. Secara struktur, di NU memiliki Lembaga Perekonomian
Nahdlatul Ulama (LPNU) yang sudah terbentuk di semua tingkatan. Hanya saja,
sentuhannya dalam mengedukasi, melatih, dan mendampingi belum begitu dirasakan
di tengah-tengah masyarakat terutama dalam kaitannya menghadapi MEA (tanpa bermaksud
mengecilkan upaya LPNU selama ini).
Waktu tersisa yang tinggal hitungan
bulan harus dipakai sebaik mungkin untuk secepatnya mendorong semua pengurus NU
di semua level agar secepatnya merumuskan strategi dan gerakan aksi yang
sistematis, terukur dan berkelanjutan. Karena bagaimanapun juga ini merupakan tanggungjawab
moral, sosial, sekaligus panggilan nurani, mengingat terdapat jutaan warga NU
yang menggantungkan hidupnya dari usaha mikro atau buruh yang sebentar lagi terancam
habis digulung produk dan tenaga kerja dari luar.
Sekarang ini (belum dibukanya kran
pasar bebas), di pasar-pasar tradisonal sudah dibanjiri produk asing. Belum
lagi, munculnya kompetitor dua waralaba ternama yang sudah berdiri hampir di
setiap kecamatan atau bahkan di pedesaan, itu saja sudah cukup membuat para
pengusaha kecil ngos-ngosan mengimbanginya. Pertanyaannya, sampai kapan mereka
akan mampu bertahan?
Dengan realitas demikian, maka dapat
dibayangkan bagaimana nasib UMKM (usaha mikro kecil menengah) 10 atau 20 tahun
kemudian apabila tidak dipersiapkan dari mulai sekarang. Jangan sampai nantinya
bangsa Indonesia khususnya warga NU hanya menjadi penonton dalam pasar bebas Asean
maupun pasar bebas dunia, atau bahkan menjadi kuli di negeri sendiri.
Tantangan demikian hendaknya mulai
dibaca oleh semua elemen NU. Apabila kondisi ekonomi warga NU di akar rumput
lemah berpotensi melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang berbahaya seperti
lunturnya jati diri ke-NU-annya. Merasa menjadi NU tapi tidak pernah merasa dibela
oleh NU.
Oleh karena itu, NU tidak boleh “santai”
(karena terlihat masih adem ayem) dalam merespon MEA yang tinggal beberapa
bulan lagi. NU juga tidak boleh hanya menggantungkan peran dari pemerintah, terlebih
dengan kondisi politik dan ekonomi yang belum stabil seperti saat ini, maka berat
jika harus menunggu gebrakan dari pemerintah.
Justru NU yang harus membuat gebrakan
sendiri dengan memanfaatkan seluruh sumber daya yang dimiliki guna melindungi dan
membela jutaan warga NU yang bergerak di usaha mikro. Sebagai ormas terbesar dan
salah satu ormas tertua di Indonesia, jelas NU sudah memiliki semuanya, dan itu
tinggal menggerakkannya.
Sejarah telah mencatat, NU mampu
melewati masa-masa sulit di zaman kolonial, zaman pemberontakan (PKI) dan orde
baru dengan gemilang. Pengalaman itu tentunya dapat ditransfer untuk membuat sebuah
solusi reel dalam menghadapi MEA. Sudah waktunya NU menunjukkan sikap
profesionalisme dan kedewasaannya dalam menata organisasi maupun dalam memberdayakan
jama’ahnya. Saatnya NU turun dan mengayomi warga nahdliyin, karena masyarakat
rindu kehadiran NU. Wallahu ‘a’lam.
*Alumnus S2 Psikologi Sosial UGM dan Sekretaris LTN NU