
Pilihan terbaik adalah menjadi pemain aktif yang mampu mewarnai
dunia. Mengingat ciri utama globalisasi menurut Prof. A. Qodri Azizy, Ph.D.
adalah kompetisi[1],
maka yang muncul sebagai pemenang adalah mereka yang mempunyai kemampuan
terbaik, tercepat, dan terkuat. Sedang
mereka yang miskin, pasif, dan terbelakang akan semakin tersisih dalam
percaturan dunia. Oleh sebab itu, menurut Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed., sekarang
ini, dunia dikuasai oleh technological innovator, seperti Amerika
serikat, Inggris, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Sedangkan Indonesia masih
dalam posisi technological adopters. Yang lebih mengenaskan adalah
negara yang ada dalam posisi technologically excluded, yang masih
terlilit utang dan tidak mampu membayarnya.[2]
Pesantren terbukti mampu melahirkan aktor-aktor global yang
kreatif, dinamis, dan kosmopolit. KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab
Hazbullah, KH. Bisyri Syamsuri, KH. A. Wahid Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid, KH.
MA. Sahal Mahfudh, KH. Maimun Zubair, KH. A. Musthofa Bisyri, KH. A. Hasyim
Muzadi, dan KH. Said Aqil Siraj. Itulah yang membuat kagum banyak kalangan.
Menjadi santri zaman dulu memang istimewa di mata masyarakat. Menurut Prof.
Zamakhsyari Dhofier, Ph.D. (1994), pergi dan menetap ke pesantren yang jauh dan
masyhur merupakan keistimewaan bagi seorang santri yang penuh cita-cita. Ia
harus memiliki keberanian yang cukup, penuh ambisi, dapat menekan perasaan
rindu kepada keluarga maupun teman-teman sekampungnya, sebab setelah selesai
pelajarannya di pesantren, dia diharapkan menjadi seorang alim yang dapat
mengajar kitab-kitab dan memimpin masyarakat dalam kegiatan keagamaan.[3]
Harapan besar masyarakat memang bisa dipenuhi oleh mayoritas santri zaman dulu.
Mereka kembali ke kampung halaman dengan kualitas ilmu dan akhlak yang terpuji.
Mereka mengembangkan masyarakat tidak hanya aspek keilmuan, tapi juga
pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Menurut Dr. Binti Maunah, M.Pd.I (2009), salah
satu kelebihan pesantren adalah nilai-nilai kebangsaan dan patriotisme,
pluralisme, toleransi, humanisme, akomodasi, dan evolusi.[4]
Apa sebenarnya rahasia pesantren mampu melahirkan aktor-aktor
global tersebut ?
Pertama, pesantren mengedepankan ilmu alat, seperti bahasa, nahwu, sharaf,
balaghah, manthiq, ushul dan qawa’id fikih, arudh, dan lain-lain. Penguasaan
terhadap ilmu ini membuat santri mampu mempelajari sendiri semua jenis ilmu
yang ada. Walaupun hanya belajar Jurumiyah (nahwu) kepada kiai, karena
penguasaan yang baik terhadap ilmu alat, santri tetap bisa melakukan ‘penjelajahan
intelektual’ dengan membaca sendiri kitab-kitab lain, seperti ‘Imrithi,
Alfiyah, Uqud al-Juman, Ghayah al-Wushul, dan lain-lain. Santri menjadi
pembelajar mandiri. Mental otodidak (belajar sendiri) membuat santri sebagai
sosok ‘mutabahhir fil ilmi’, orang yang mengarungi lautan pengetahuan
yang tak bertepi.[5]
Kedua, pesantren mendorong santri untuk aktif munadharah
(diskusi), mutharahah (debat), muthala’ah (membaca secara
mendalam), ta’liq (mencatat keterangan) dan takrar (repeating,
mengulang). Munadharah melatih santri untuk berani mendemonstrasikan
pemikirannya, mutharahah melatih santri dalam membangun argumentasi dan
mempertahankannya, muthala’ah melatih santri berpikir kritis dan analisis,
ta’liq melatih santri menjadi seorang ‘writer’ (katib), dan takrar
melatih santri dalam menguatkan daya ingatnya sesuai kaidah ‘al-hafidzu
hujjatun ala man la yahfadz’, orang yang kuat hafalannya menjadi kunci
mengalahkan orang yang lemah hafalannya.[6]
Ketiga, pesantren menanamkan spirit ‘optimisme’ dalam menatap masa
depan. Optimisme dimulai dari niat pertama kali menuntut ilmu untuk menggapai
ridla Allah, menghilangkan kebodohan, dan mengibarkan panji kebesaran Islam,
bukan mencari dunia, jabatan, popularitas, publisitas, dan lain-lain. Setelah
itu rajin melakukan riyadlah
(tirakat), baik itu puasa, sahr al-layali (tidak tidur malam), membaca
wirid (ijazah dari Kiai), dan lain-lain. Setelah menguasai ilmu, kembali ke
tengah masyarakat dengan optimisme tinggi, berwirausaha untuk menggapai
kemandirian ekonomi dan mendidik masyarakat untuk mengamalkan ilmunya.
Optimisme ini melahirkan cita-cita tinggi, keyakinan kuat, kepercayaan diri,
dan tekad bulat untuk meraih keberhasilan tanpa menggantung orang lain. Sesuai
kaidah pesantren ‘al-i’timadu ala al-nasfi asas al-najah’ berpegangan dengan kekuatan sendiri menjadi
kunci kesuksesan. Optimisme menghilangkan kemalasan, kecemasan, dan
kegundahan. Optimisme menyemaikan kerja keras, kerja cerdas, dan semangat
pantang menyerah dalam menuntut ilmu. Kemandirian, prestasi dan kesuksesan akan
lahir dari optimisme. Orang yang optimis berani menghadapi resiko. Menurut Rudy
Haryono (1999), orang-orang sukses pada umumnya tidak pernah takut menghadapi
risiko. Orang-orang yang aktif dan bersemangat tinggi dalam mencapai sukses tak
pernah jera sekalipun berkali-kali ia menghadapi risiko. Ia tak pernah jera
meskipun gagal bertubi-tubi. Senantiasa bangkit dan akhirnya menemukan jalan
menuju keberhasilan. Hanya orang-orang yang berjiwa kerdil saja yang takut
menghadapi risiko. Karena khawatir menghadapi risiko, maka seringkali mereka
menangguhkan rencana. Padahal gagasan dan rencananya itu sangat baik. Setiap
langkah, setiap usaha, dan setiap kali melakukan kegiatan, risiko pasti ada. Risiko
selalu mengikuti pekerjaan yang kita lakukan. Tergantung bagaimana cara kita
melaksanakan pekerjaan sehingga menekan risiko sekecil mungkin. Jika ada
gagasan baik atau ide bagus, maka cepat-cepatlah bertindak untuk melaksanakan.
Jangan sampai didahului oleh perdebatan pikiran; antara jadi melaksanakan atau
membatalkannya. Walaupun demikian, kita harus mampu memprediksikan rintangan
yang ada dan menghadapinya dengan tenang. Anda harus yakin mampu melalui
rintangan-rintangan itu.[7]
Andeas Harefa (2001), mengutip pendapatnya Maxwell Maltz,
mengemukakan tujuh ciri kepribadian sukses. Pertama, sense of direction.
Orang yang sukses mempunyai kemampuan untuk mengarahkan dan memimpin dirinya
sendiri. Ia tidak ditentukan oleh situasi lingkungannya. Kedua,
understanding. Orang sukses mempunyai kemampuan untuk memahami dirinya
sendiri, memahami orang lain, dan memahami pekerjaan mereka. Dan, mungkin ini
jauh lebih penting, mereka mau belajar memahami segala sesuatu. Ketiga,
courage. Keberanian bertindak merupakan hal yang melekat dalam diri orang
berkepribadian sukses. Apapun risiko yang menghadangnya, tak membuat mereka
mundur. Secara sederhana dapat disimpulkan, bahwa mereka berprinsip “lebih baik
bertindak walau kelak terbukti tindakan itu salah dari pada takut bertindak dan
karenanya tidak pernah melakukan sesuatu”. Manusia yang hanya membeo dan tak
pernah berani menyatakan pilihan sikap yang berbeda dengan orang lain, tidak masuk
dalam kategori ini. Keempat, charity. Sifat kikir dan egosentris tidak
membuat seseorang meraih sukses. Kemurahan hati, murah dalam memberikan pujian,
suka menolong, bersedia membagi hak miliknya pada orang lain, adalah
sifat-sifat yang menyertai kesuksesan seseorang. Kelima, esteem
(self-esteem). Suka mengemis, meminta belas kasihan, dan mentalitas budak
bertentangan dengan tabiat orang sukses di segala zaman. Orang sukses mempunyai
harga diri yang sehat. Keenam, self-acceptance. Orang sukses menerima
kelemahan-kelemahan mereka, sekalipun mengetahui bahwa dalam diri mereka
terdapat kekuatan-kekuatan yang unik dan berbeda dengan manusia lain. mereka
enggan menyediakan waktu untuk meratapi kelemahan-kelemahan mereka, tetapi
berusaha keras mengembangkan potensi-potensi positif yang telah dikaruniakan
Sang Ilahi kepadanya. Ketujuh, self-confidence. Inferiority
complex dan superiority complex tidak melahirkan orang sukses.
Kepercayaan diri ini berkaitan erat dengan penerimaan diri sebab percaya diri
merupakan akibat dari adanya self-acceptance dan self-respect.
Sikap minder dan arogan adalah musuh besar kepribadian sukses.[8]
Keempat, pesantren melatih santri untuk melek ‘organisasi’ sebagai
media memperjuangkan agama. Organisasi mempunyai peran penting untuk membentuk
mental dan kepribadian yang toleran, demokratis, dan pluralis. Organisasi
mendorong santri untuk aktif mengembangkan keilmuan dan wawasan masa depan.
Interaksi dan relasi sosial yang luas menuntut santri untuk beradaptasi agar
tidak ketinggalan dan lebih dari itu berusaha menjadi ‘leader’ yang memandu
perubahan yang berlangsung.
Kelima, pesantren mengokohkan visi sosialnya kepada santri secara efektif.
Visi sosial adalah pandangan jauh ke depan tentang bagaimana membangun
masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai Islam universal, seperti keadilan,
kesejahteraan, kemajuan, kearifan, kesetaraan, kebahagiaan, dan kerjasama dalam
membangun kebaikan dan meminimalisir kejelekan.[9]
Dengan visi sosial ini, santri kembali ke masyarakat, berproses ditengah-tengah
masyarakat, membimbing dan mengajarkan agama, membangun perekonomian rakyat
kecil, mengembangkan kualitas pendidikan, memberikan keteladan moral dan
dedikasi, serta aktif melakukan kaderisasi demi menghadapi masa depan yang
penuh tantangan.
Lima rahasia sukses santri ini sekarang jarang dilakukan oleh para
santri era sekarang. Akhirnya, kualitas mereka jauh dibawah santri zaman dulu,
sedangkan tantangan hidup justru semakin kompleks. Disinilah terjadi
kesenjangan antara tuntutan santri ideal dengan realitas kemunduran dan
kemerosotan santri. Lebih ironis lagi, pesantren akhir-akhir ditengarahi
sebagai lembaga yang melahirkan para teroris yang ditakuti dan menjadi musuh
utama dunia.[10]
Maka tidak ada jalan lagi bagi santri kecuali merespons tantangan
global ini dengan mempersiapkan diri menjadi aktor pengubah sejarah dunia masa
depan untuk meneruskan era kepemimpinan KH. MA. Sahal Mahfudh, KH. Abdurrahman
Wahid, dan KH. Said Aqil Siraj. Dua puluh tahun atau lima puluh tahun ke depan,
siapa yang mengganti mereka kalau bukan kita kaum santri ?
Semangat untuk mengejar ketertinggalan tidak boleh padam. Karena di
pundak kita terletak era keemasan peradaban Islam di masa datang. Kalau
kemalasan yang menghiasi diri ini, maka kebangkitan Islam hanya ilusi belaka,
Islam akan terus dibombardir kekuatan-kekuatan lain agar tidak mampu bangkit
dan kalau bisa hancur selama-lamanya. Pasti kita sebagai santri tidak
menginginkan itu. Menyisingkan lengan baju, memahat cita-cita setinggi langit,
dan siap berkompetisi untuk menggapai kemenangan spektakuler dan sensasional.[11]
The Power of Dream
Langkah seribu
dimulai dari ayunan kaki selangkah demi selangkah. Mengayunkan kaki membutuhkan
energi, orientasi, dan target yang lahir dari mimpi akan masa depan yang cerah.
Orang-orang besar mempunyai mimpi menggenggam dunia. Mereka memulai langkahnya
satu demi satu dengan semangat tinggi, kerja keras, tidak kenal putus asa,
pantang menyerah, dan terus mencipta selama hayat masih di kandung badan.
Kekuatan mimpi begitu besarnya dalam menggerakkan seseorang untuk bergerak maju
ke depan, berani mengambil resiko, dan siap menghadapi segala kondisi yang
paling menyakitkan sekalipun. Cita-cita lahir dari mimpi besar.
Ada syi’ir penuh
makna yang ada dalam kitab Uqud al-Juman : “Lahu himamun la muntaha
likibariha, wahimmatuhu al-shughra ajallu min al-dahri” dia mempunyai
segudang cita-cita besar yang tidak ada batasnya, cita-cita kecilnya lebih
agung dari (usia) masa. Namun santri sudah paham, mimpi saja tidak cukup,
karena mimpi hanya starting point yang menggerakkan semangat belajar
keras untuk menguasai pengetahuan dan teknologi yang digunakan untuk
menggenggam dunia seisinya.
Maka mulai
sekarang bermimpilah menjadi ilmuwan sekaliber Imam Syafi’i, Imam Ghazali, Imam
Ibn Rusyd, Ibnu Khaldun, Ibn Sina, Imam Nawawi, bahkan lebih dari itu. Tidak
ada yang mustahil di dunia ini kalau kita sungguh-sungguh sepanjang masa.
Pengembaraan Imam Syafi’i ke berbagai negara untuk menuntut ilmu adalah teladan
maha agung bagi santri untuk terus mengasah kemampuan dan menghindari
kesombongan. Menyerap ilmu dari berbagai penjuru dunia akan mematangkan ilmu
sampai pada tingkatan yang sulit untuk dilalui seseorang.
The Power of Focus
Fokus adalah
menggunakan waktu, pikiran, tenaga, dan sumber daya lainnya untuk satu tujuan
tertentu dalam waktu tertentu. Kalau di luar negeri, sistem pendidikannya
menggunakan strategi spesialisasi, sehingga pelajarannya tidak banyak. Fokusnya
bagaimana melatih anak memahami, menganalisis, dan meneliti materi yang
diajarkan secara empiris. Pembelajaran di luar negeri, khususnya Amerika
Serikat menggunakan pendekatan fokus, materinya sedikit tapi hasilnya luar
biasa. Sedangkan di Indonesia, sistem pendidikannya menggunakan strategi
generalisasi dengan materi yang sangat banyak, sehingga anak didik tidak fokus.
Materinya banyak, tapi hasilnya sedikit. Anak kurang berlatih menganalisis dan
meneliti secara empiris materi yang diterimanya dari guru.
Maka, mulai
sekarang fokuslah mendalami satu pengetahuan, baru berpindah kepada pengetahuan
yang lain. Misalnya, alokasikan waktu satu tahun untuk menguasai bahasa Arab,
satu tahun untuk menguasai nahwu, satu tahun menguasai sharaf, satu tahun
menguasai balaghah, satu tahun menguasai ushul fiqih, satu tahun menguasai
manthiq, satu tahun menguasai bahasa Inggris, dan lain-lain. Dahulukan ilmu
alat, karena dengannya Anda bisa menjadi pembelajar mandiri yang tidak
bergantung kepada guru. [12]
Potret Santri Ideal di Era Global
Santri ideal untuk
menghadapi tantangan global adalah santri yang mampu mengemban tanggungjawab besar
dalam dirinya untuk meneruskan kepemimpinan para Nabi dan ulama. Menurut KH.
Moh. Ilyas Ruhiat, kader idaman yang utama bagi pesantren adalah kader-kader
kiai. Untuk menjadi kiai, tidak hanya berpulang kepada pesantren sebagai
lembaga pendidikan, tetapi juga kembali ke pribadi-pribadi yang bersangkutan di
tengah-tengah masyarakat. Pesantren memang telah menunaikan fungsinya dengan
baik dalam membina para santrinya melalui penguasaan ilmu agama yang mendalam.
Akan tetapi, jika fungsi ini tidak dibarengi tekad yang kuat dari santri untuk
mengabdi kepada masyarakat dengan menyebarkan pengetahuan yang dikuasainya,
maka potensi kekiaian yang ada padanya tentu tidak akan bisa lahir. Jadi proses
melahirkan potensi kekiaian adalah tanggung jawab santri. Oleh sebab itu, tidak
ada seorang santri, betapapun alimnya, bisa disebut kiai sebelum terjun di
tengah-tengah masyarakat untuk membuktikan peran kekiaiannya. Dan memang, kiai
adalah gelar yang hanya diberikan oleh masyarakat, bukan oleh pesantren atau
lembaga lainnya.[13]
Mengingat tantangan dunia yang serba matrealis, hedonis, dan
sekularis, santri ideal harus menguasai pengetahuan agama secara normatif,
filosofis, holistik, dan non-dikotomik. Melanjutkan generasi Ibn Khaldun dan
Ibnu Sina, selain ahli agama, juga seorang sosiolog, sejarawan, dokter, dan
lain-lain. Menjadi ilmuwan multidisipliner atau dalam bahasa Anwar Ibrahim ‘mutafanni’,
menguasai berbagai cabang pengetahuan. Perpaduan ilmu alam, rasional, dan
spiritual inilah kunci kebangkitan Islam masa depan. Mengabdi kepada
masyarakat, bangsa, negara, dan dunia menjadi keniscayaan untuk mengibarkan
panji kebesaran Islam di muka bumi ini.( Jamal Ma’mur
Asmani, tulisan ini pernah di muat di Jurnal
Khittah edisi I)
[1] A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam,
Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2004, cet. 3, h. 26-28. Bahkan ada yang menggunakan istilah ‘hiperkompetitif’
yang menunjukkan makna persaingan keras dan tajam.
[2] M. Mastuhu, Sistem Pendidikan Nasional Visioner, Tangerang :
Lentera Hati, 2007, cet. 1, h. 1-3
[3] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan
Hidup Kyai, Jakarta : LP3ES, 1994, cet. 6, h. 52
[4] Binti Maumunah, Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan dan
Hambatan Pendidikan Pesantren di Masa Depan, Yogyakarta : Teras, 2009, h. 21-22
[5] Baca dalam Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, pada bab keutamaan
ilmu ada syi’ir reflektif dan inspiratif “Wakun mustafidan kulla yaumin
ziyadatan minal ilmi wasbah fi buhuril fawaidi”, jadilah orang yang setiap saat
mengambil tambahan faedah ilmu (ilmu yang bermanfaat) dan berenang dalam
samudra faedah tersebut.
[6] Tradisi akademik ilmiah inilah yang membuat alumni pesantren tidak
canggung berdiskusi di kampus. Contoh paling nyata adalah KH. MA. Sahal
Mahfudh, alumnus pesantren Kajen Margoyoso Pati, Bendo Kediri Jawa Timur dan Sarang Rembang.
Baca Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh, Antara Konsep dan
Implementasi, Surabaya : Khalista, 2007, cet. 1, h. 1-41
[9] Rukun sosial ini menurut Gus Dur dinamakan rukun tetangga. Menurutnya,
prinsip-prinsip yang telah dibakukan dalam al-Qur’an ada tiga, yaitu persamaan (al-musawah),
musyawarah (asy-syura), dan keadilan (’adalah). Baca Abdurrahman
Wahid, Gus Dur Diadili Kiai-Kiai, Penyunting : Imron Hamzah &
Choirul Anam, Surabaya : Jawa Pos, 1999, cet. 2, h. 22-27
[10] Menurut Nurcholis Madjid, pesantren membuat semangat fundamentalisme
yang tinggi sekali. Curahan perhatiannya diutamakan pada bidang fikih.
Fundamentalisme dan puritanisme sering melahirkan sikap-sikap yang kaku.
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,
Jakarta : Paramdina, 1997, cet. 1, h. 13
[11] Salah satu buku yang layak dibaca untuk memotivasi belajar dalam
menggapai prestasi adalah karya Misbahul Huda, Mission ini Possible,
Spiritualitas Kerja Menggapai Cita, Surabaya : JP Books, 2008, cet. 1
[12] Menurut Prof. Laode M. Kamaluddin, Ph.D. dan A. Mujib El Shirazy,
ulama-ulama terdahulu dalam belajarnya adalah fokus dalam satu bidang, setelah
menguasai secara mendalam, baru pindah ke bidang yang lain. Mereka taklukkan
dulu ilmu tata bahasa dan ilmu kalam sampai di luar kepala, baru beralih ke
ilmu fikih sampai hafal betul, baru beralih ke ilmu tafsir, baru beralih lagi
ke ilmu-ilmu lainnya, begitu seterusnya. Baca Laode M. Kamaluddin dan A. Mujib
El Shirazy, The Islamic Golden Rules, 17 Aturan Emas Meraih Puncak
Kesuksesan dan Kejayaan, Pengantar dan Spesial Apresiasi : Prof. Dr.
Mohammad Nuh, Jakarta : Ihwah Publishing House, 2011, cet. 1, h. 54-55
[13] KH. Moh. Ilyas Ruhiat, Ajengan Santun Dari Cipasung, Membedah
Sejarah Hidup dan Wacana Pemikiran Islam Keumatan, Pengantar : Dr. Fuad
Hasyim, Bandung : Rosdakarya, 1999, cet. 1, h.
139