
“Awal Islam, para pemuda lah yang
menjadi motor penggerak perkembangan Islam. Sahabat Ali bin Abu Thalib masuk
Islam saat berusia 13 tahun. Sahabat Nabi Saw paling tua adalah Abu Bakar
As-Shiddiq, yakni berusia 38 tahun. Sisi lain, kalangan tua lah yang menolak.
Abu Jahal, Abu Lahab sudah berusia 60-an tahun,” paparnya dalam Pengajian
Bulanan Suluk Maleman dengan tema “Bhinneka Tunggale Ilang” di kediaman Habib
Anis Sholeh Ba’asin, di Kabupaten Pati, Sabtu malam (21/3).
Menurut penulis buku Atlas Walisongo
itu, tidak hanya sejarah Islam, sejarah kemerdekaan Indonesia juga dimotori
oleh kalangan muda. “Saat menjadi komandan batalyon pada 1948, Mantan Wapres
Wirahadi Kusuma berusia 19 tahun. Para komandan yang lain pun tidak ada yang
berusia di atas 25 tahun. Hanya Haji Agus Salim, tokoh yang usianya sudah
sepuh. Bahkan Trunojoyo pada umur 16 tahun sudah berani melakukan
pemberontakan, usia 20 tahun menjadi pemimpin pemberontakan dan dieksekusi pada
usia 25 tahun. Jangan lupa, Hayam Wuruk menjadi raja saat berusia 16 tahun,”
jelasnya.
Terpinggirkan
Kendati demikian, dalam pengamatan
sejarawan NU itu, belakangan peran pemuda dipinggirkan oleh kalangan tua. “Para
remaja dipinggirkan, mereka diberi stigma yang negatif; kenakalan remaja. Dan
jika memang Indonesia ingin berjalan seperti yang dicita-citakan, maka mau
tidak mau kita membutuhkan wajah-wajah baru kaum muda. Ingat pula, kejayaan
Majapahit diawali dengan diberikannya kepercayaan kepada senopati muda untuk
mengambil posisi penting dan strategis, sehingga perannya nyata,” tambahnya.
Lebih jauh, Dosen Sekolah Tinggi
Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta itu, menceritakan bahwa para raja
zaman dahulu ketika sudah memasuki usia senja memiliki tradisi lengser
keprabon, madep pendito, yakni segera mengakhiri masa kekuasaannya dan
beralih menekuni ibadah mendekatkan diri kepada Tuhan.
“Dulu, para pemimpin, para raja,
menginjak usia 50-an mempunyai tradisi lengser keprabon, madep pendito.
Tapi kini, lihatlah para kalangan tua meniru gaya Eropa dan tetap memaksakan
diri mengatur kekuasaan,” ungkapnya.
Meski demikian, Kyai kelahiran
Surabaya 21 Agustus 1959 ini, menggarisbawahi bahwa anak-anak muda yang dalam
lintas sejarah menjadi penggerak perkembangan Islam dan kemerdekaan bangsa
adalah anak-anak muda yang pintar, cerdas, dan amanah. Karenanya ia menghimbau
kepada anak-anak muda supaya mempersiapkan diri sebaik mungkin demi kebaikan
NKRI di masa mendatang.
“Tidak sekedar muda yang dibutuhkan
NKRI hari ini. Tapi lebih dari itu, NKRI butuh pemimpin muda yang pintar,
cerdas, amanah dan dapat dipercaya. Sedang generasi tua, cukup menjadi
penasehat,” tegasnya.
Hadir dalam acara ini, Menteri Agama
Lukman Hakim Saifuddin, Hj. Lily Wahid, KH Abdul Ghofur Maimoen, Kakanwil
Kemenag Jawa Tengah Drs H Ahmadi, dan Kakankemenag Pati Ahmad Mundakir. [G-penk/002 nujateng.com]