
Ada
dua kata kunci dalam ayat di atas, yakni membaca dan pena. Membaca dalam
konteks ayat tersebut secara tersirat tidak dalam pengertian membaca buku atau
kitab, tetapi bersifat universal, yakni membaca apa saja, yang tersurat maupun
tersirat. Sedang pena adalah simbol transfer ilmu. Pena menjadi alat untuk
menulis, yang pada hakikatnya adalah alat untuk mengajarkan sesuatu dalam
bentuk tulisan.
Pena
dijadikan salah satu surat dalam Al-Quran, yakni pada surat ke-68. Pada ayat
pertama, Allah SWT bersumpah dengan pena, “Nun, Demi Pena...” Sungguh ini
menjadi bukti bahwa Allah SWT begitu perhatian dengan dunia baca-tulis, karena
saking manfaatnya yang besar. Membaca dan pena (alat menulis) baik dalam surat
Al-‘Alaq maupun Al-Qalam ini menjadi ghirrah (passion) para ulama
dalam menimba ilmu pengetahuan yang tak terbatas. Hal ini kita bisa merunut sejak
pada masa Islam generasi pertama.
Pada
masa Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an mulai ditulis oleh masing-masing sahabat.
Setelah Nabi wafat, Umar bin Khattab kemudian menggagas agar Al-Qur’an
dijadikan satu mushaf. Dari situ, jadilah Al-Qur’an yang kita lihat saat ini.
Ketika Islam menyebar ke luar Mekkah dan Madinah, tuntutan tafsir/interpretasi
atas Al-Qur’an menjadi keniscayaan. Hal itu disebabkan masyarakat di luar
Makkah dan Madinah mempunyai konteks yang berbeda. Dari situ, mulai bermunculan
tafsir-tafsir Al-Qur’an.
Seiring
dengan itu, ilmu-ilmu keislaman—yang terinspirasi dari pokok-pokok Al-Qur’an—mulai
bermunculan, sesuai dengan kapasitas keilmuan ulama dan kebutuhan masyarakat
pada waktu itu, seperti kitab-kitab fiqih, tasawuf, sejarah, sastra, politik,
ekonomi, filsafat, kedokteran, dan lain-lain.
Dari
fenomena di atas, tak aneh kemudian ilmu pengetahuan dalam Islam berkembang
pesat, dan puncaknya adalah meraih peradabannya. Hampir semua lini mengalami
kemajuan: filsafat, politik, ekonomi, arsitektur, dan lain-lain.
Warisan-warisan para ulama terdahulu masih dapat kita saksikan pada saat ini.
Salah satu warisannya adalah karya tulis (buku/kitab).
Jika
berkunjung ke perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, kita akan dapatkan deretan
kitab-kitab klasik yang ditulis pada abaad-abad silam. Sebut saja misalnya, Tafsir
At-Thabari, Tafsir Ar-Razy, Tafsir Az-Zamakhsyari, di mana semua kitab itu ditulis
berjilid-jilid. Belum lagi, kitab Muqaddimah karya Ibnu Khaldun, Ihya
‘Ulumuddin karya Imam al-Ghazali, Al-Qanun fi ath-Thib karya Ibnu
Sina, dan masih banyak lagi.
Setiap
abad selalu muncul karya-karya para ulama yang sangat mumpuni dan menjadi
master piece di bidangnya. Ahli Tafsir Ibnu Katsir, ahli Hadis Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam
Malik, dan masih sangat banyak lagi, merupakan ulama-ulama hebat yang
karya-karyanya masih bisa kita baca hingga kini. Mereka telah berjasa mengolah
ilmu-ilmu keislaman yang banyak dijadikan referensi dan kajian para penulis
selanjutnya. Itulah warisan para ulama yang terus menggema hingga kini.
Tak
terkecuali di Indonesia. Banyak para ulama Indonesia yang menulis
pemikiran-pemikirannya dalam pelbagai bidang. Pesantren adalah gudangnya
karya-karya para ulama Indonesia. Mereka biasanya memberikan penjelasan atas
kitab-kitab yang ditulis para ulama terdahulu, baik dalam bentuk syarah
maupun hasyiah. Bahkan tak jarang mereka menuliskan buah pikirannya
sendiri. Sebagian para ulama Indonesia yang mempunyai tradisi menulis, yaitu
Syaikh Nawawi Al-Bantani, KH Hasyim Asy’ari, KH Sholeh Darat, KH
Afifuddin Muhajir Situbondo, KH Hasby Ash Shidiq, KH Munawar Cholil, Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), dan masih banyak lagi. Mayoritas para ulama Indonesia menulis
kitab hanya untuk kebutuhan para santrinya, sehingga tidak terpublikasikan
secara massif. Banyak karya-karya mereka masih tersimpan di kediamannya,
dirawat oleh keluarganya.
Tradisi
menulis juga kemudian diteladani oleh para santri maupun
keturunannya. KH Bisri Mustofa, ayahanda KH Mustofa Bisri (Gus Mus) adalah
salah satu contohnya. Beliau menulis kitab begitu produktif, di antaranya kitab Al-Khulashah Ibn Malik, Sulam Safinah,
‘Aqidatul ‘Awam, Qahar lan Shalihah. Di dalam
keluarga Gus Mus menulis sudah menjadi tradisi. Selain ayahandanya, kedua
pamannya, KH
Misbah dan KH Maksum Mustofa, juga ikut menulis. Hal itu
kemudian terwarisi kepada diri Gus Mus, yang kini karya-karyanya begitu banyak
dan beragam, baik fiksi maupun nonfiksi.
Etos ayahanda
dari Gus Mus dalam tulis-menulis memang patut dijadikan teladan. Dalam keadaan
apa pun beliau tetap menulis. Menulis sudah seperti bernafas. Apa sebenarnya
kiat beliau agar dapat menjaga motivasi menulisnya? Barangkali ini menjadi
jawabannya. Penulis mendengar langsung dari Gus Mus pada waktu penulis
silaturahmi ke rumahnya, di Rembang. Beliau bercerita suatu ketika Kyai Bisri
Mustofa bertemu dengan Kyai Ali Maksum Krapyak. Mereka berdua
berbincang-bincang.
“Apa sih rahasia sampeyan bisa begitu produktif menulis, sementara saya selalu gak pernah selesai? Kalau soal kealiman, Insya Allah saya
tidak kalah dari sampeyan,” ujar Kyai Ali Maksum. Mendengar pertanyaan itu, Kyai
Bisri menjawabnya dengan kelakar, “Sampeyan
menulis lillahi ta’ala sih!” Kiai Ali kemudian bertanya kembali, “Lha kyai
menulis kok tidak lillahi ta’ala, terus niatnya apa?”
“Saya niat menulis nyambut gawe. Saya seperti halnya penjahit.
Lihatlah penjahit, walaupun ada tamu, penjahit tidak akan berhenti menjahit.
Dia menemui tamunya sambil terus menjahit, jika tidak, dia tidak bisa makan. Saya juga begitu. Kalau diawali dengan niat mulia, setan akan mengganggu sampeyan dan tulisan sampeyan
ndak akan selesai. Nanti kalau
tulisan sudah jadi, dan akan diserahkan kepada penerbit, baru kita niati yang
mulia-mulia, linasyril ‘ilmi, misalnya. Jadi, setan
perlu kita tipu,” jawab Kyai Bisri panjang lebar.
Kisah
di atas memberi pesan bahwa menulis bisa memadukan antara dakwah dan mencari
rezeki. Dua hal itu bisa berkumpul dalam aktivitas menulis. Ini menjadi
penyemangat bagi seorang muslim dalam menulis, karena bisa mendatangkan pahala
dan rezeki. Jadi menulis sesungguhnya ladang dakwah juga, yang dapat kita
tebarkan kepada khalayak masyarakat. Dakwah lewat pena (baca: menulis) ini,
biasa kita sebut dakwah bil qalam.
Pati, Pesantren, Karya
Kabupetan Pati yang letaknya di daerah pesisir pantai utara pulau
Jawa menjadi
favorit untuk menimba ilmu agama Islam dari pelbagai penjuru Indonesia. Hal ini
menjadikan Pati sebagai salah satu kabupaten yang banyak pesantrennya. Desa
Kajen kecamatan Margoyoso menjadi pusatnya, karena di desa ini terdapat sekitar
30-an pondok pesantren baik putra maupun putri.
Oleh
karena itu, Pati sesungguhnya mempunyai potensi besar gerakan
massif dalam hal karya tulis di kalangan pesantren. Semua elemen gerakan itu
sudah mengarah ke sana, tinggal mencari pemantiknya dan upaya kesadaran
kolektif untuk membangunnya. Seandainya setiap pesantren menggalakkan tradisi
menulis dengan melibatkan kyai, para ustadz, dan para santrinya, betapa
maraknya karya-karya tulis di Kabupaten Pati ini. Dari situ akan bermunculan sajak, cerpen, novel, esai, buku, dan
kitab-kitab
yang ditulis oleh kyai, ustadz, dan santri.
Tidak
hanya itu, kekayaan khazanah lokal Pati juga akan mengemuka secara tidak
langsung melalui karya-karya tersebut. Kekayaan tersebut akan mengantarkan
kepada kancah global, baik skala nasional maupun internasional. Bukan tidak
mungkin Pati menjadi pusat kajian para peneliti dari pelbagai negeri, seperti
halnya Pare, sebuah kecamatan di Kediri, yang menjadi terkenal, lantaran karya The
Religion of Java, karya Clifford Geertz.
Dalam
dunia baca-tulis di pesantren, sejatinya, Pati menjadi kabupaten yang penuh
berkah, karena di sini telah banyak orang yang menekuni dunia ini, mulai dari
kyai, ustadz, dan santri. Untuk para santri, mereka biasanya melanjutkan
pendidikan formalnya ke pelbagai kota-kota besar, seperti Yogyakarta, Semarang,
dan Jakarta. Di sana mereka makin terasah keprigelan menulisnya. Namun, ada
juga yang menetap di Pati, dimana sambil menulis, mereka bekerja di lembaga
pendidikan, seperti Perguruan Tinggi, Sekolah, dan pesantren.
Salah
satu kyai yang bisa dikatakan paling menonjol dalam dunia tulis-menulis adalah
almarhum KH Sahal Mahfudz. Beliau telah memberikan teladannya. Banyak buku yang
telah ditulisnya, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab, di antaranya Al-Barokatu
al- Jumu’ah Thariqat, al-Hushul ila Ghayahal-Ushul, Pesantren Mencari Makna,
Al-Bayan al-Mulamma’ ‘an Alfdz al-Lumd, Telaah Fikih Sosial, Nuansa Fiqh Sosial,
Ensiklopedi Ijma’ (terjemahan bersama KH. Mustofa Bisri), Al-Tsamarah
al-Hajainiyah, Luma’ al-Hikmah ila Musalsalat al-Muhimmat, Al-Faraid al-Ajibah,
dll.
KH
Sahal Mahfudz dikenal sebagai ulama yang concern terhadap keilmuan.
Sungguh, inilah warisan berharga dari beliau yang patut dijaga dan
dilestarikan. Bahkan, sudah seyogyanya kalangan pesantren melanjutkan tradisi
menulis beliau tersebut. Tradisi beliau patut dilanjutkan. Bukan tidak mungkin
ke depan akan banyak bermunculan gagasan-gagasan penulis dari kalangan
pesantren yang diperhitungkan baik secara nasional maupun internasional.
Gerakan Literasi
Oleh karena itu, harus ada upaya
bersama untuk memprakarsai
gerakan literasi (baca-tulis) dan mengorganisasinya secara
tertib dan berkesinambungan. Semua pihak bisa dilibatkan. Langkah awalnya bisa
dimulai dengan adanya gerakan budaya membaca yang bisa diinstruksikan oleh
semua pimpinan pesantren. Kemudian diadakan lomba kepenulisan, pembacaan puisi,
pembahasan buku, maupun lainnya. Setelah itu disusul dengan pelatihan menulis secara
kontinu, tidak sekadar workshop satu atau dua hari.
Memupuk
kemampuan menulis tidak bisa instan. Jadi tidak bisa dilakukan hanya dengan
pelatihan “seremonial” belaka dengan durasi waktu satu-dua hari, yakni hanya
dengan mendatangkan narasumber yang dianggap mumpuni dalam dunia kepenulisan.
Keprigelan menulis adalah proses, oleh karena itu, dalam hal ini, para santri
atau pun ustadz yang hendak belajar menulis harus dibimbing secara rutin sampai
mereka bisa menulis dengan apik. Waktunya bisa setiap satu minggu 2 kali, atau
1 bulan 6 kali, tergantung kesepakatan.
Dapat
kita bayangkan, apabila program kepenulisan ini bisa berjalan—misalnya—satu
tahun penuh, maka apa yang kita harapkan akan terwujud, yakni sebuah gerakan
kepenulisan secara massif, dimana para santri dapat memproduksi karya-karyanya
lewat pelbagai media, baik media cetak (buku, koran, majalah, buletin, dll.),
maupun media online (blog, website, dan media sosial). Dengan demikian tradisi dan
warisan menulis yang sudah dicetuskan oleh para ulama terdahulu—khususnya Kiai
Sahal—tetap terjaga. Etos inilah yang harus terus digalakan di lingkungan
pesantren, agar karya-karyanya menjadi pencerahan bagi khalayak pembaca dan
dapat dibaca pula oleh generasi berikutnya.
Pondok
pesantran Maslakul Huda pada tahun 2014 telah memulai langkah gerakan literasi
ini. Di bawah tanggung jawab pengelola perpustakaannya, kelas jurnalistik untuk
para santri telah dibuka. Bagi para santri yang tertarik dengan dunia
tulis-menulis, bisa bergabung di dalamnya, tanpa dibedakan kelas dan angkatan
di sekolah maupun pesantrennya. Junior dan senior menjadi satu.
Kelas jurnalistik dibagi
dua kelas, yakni kelas putra dan putri. Adapun jadwal pelatihannya pada hari
sabtu dan minggu. Mereka dilatih menulis fiksi maupun nonfiksi. Genre fiksi,
misalnya cerpen, puisi, dan novel. Sedang genre nonfiksi yaitu opini, esai, dan
resensi. Selain di kelas, mereka juga diharuskan belajar menulis menulis di
asrama. Mereka diberi buku catatan, dimana setiap hari mereka diharuskan untuk
menulis catatan harian, baik itu berisi puisi, cerpen, maupun lainnya, sesuai
dengan minat mereka. Karya-karya mereka kemudian dibukukan dan diterbitkan.
Berlatih menulis di
kelas dan di luar kelas mesti dilakukan oleh mereka, karena kita tahu bahwa
menulis ibarat otot, apabila ingin kuat harus dilatih terus menerus, sehingga
mereka menjadi kuat dan terlatih. Dari sini bakat menulis menjadi nomor
kesekian, karena apabila menulis sudah menjadi kebiasaan maka siapa saja dari
mereka itu akan mampu menulis dengan baik dan sesuai harapan. Kelak dari kelas
jurnalistik ini akan muncul santri-santri yang bisa menelurkan karyanya, baik
novel, cerpen, puisi, esai, opini, bahkan buku-buku keislaman.
Penerbit yang concern
menerbitkan buku keislaman begitu banyak di Indonesia. Tentu ini menjadi
lahan besar bagi para santri untuk mengirimkan naskah-naskahnya. Para santri
bisa menggali bahan-bahannya dari pelbagai kitab, seperti Ihya Ulumuddin,
Al-Hikam, Irsyadul ‘Ibad, Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, dan lain-lain.
Kekayaan referensi itu sangat memungkinkan bagi para santri untuk mengkajinya
dan dijadikan bahan tulisannya lebih baik, ketimbang para penulis yang tidak
pernah mengkaji kitab-kitab tersebut dari lingkungan pesantren.
Semoga program pelatihan jurnalistik
di Pondok Pesantren Maslakul Huda ini diikuti juga oleh pondok-pondok pesantren
lainnya. Bisa kita bayangkan apabila seluruh pondok di kabupaten Pati melakukan
program ini, maka harapan, mimpi, dan cita-cita, pesantren sebagai basis
pemunculan karya tulis secara massif mendekati kenyataan.( M. Iqbal Dawami (Pengajar Kepenulisan di Pesantren Maslakul Huda, tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Khittah PCNU Pati.)