Salah satu masalah
terbesar masyarakat Indonesia adalah tingginya angka kemiskinan. Sebagai sebuah
masalah, kemiskinan perlu di definisikan terlebih dahulu kemudian di cari
factor -factor apa saja yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin dan
bagaimana kemiskinan itu dapat di minimalisir. Boleh jadi kemiskinan terjadi
karena kebodohan yang menyebabkan masyarakat tidak mengetahui masalah dan
potensi dirinya.
Selain masalah
kebodohan boleh jadi kemiskinan terjadi karena kurangnya sarana pendukung
sehingga mereka menjadi miskin dan akibat kemiskinan, kesempatan masyarakat
untuk belajar menjadi berkurang, dan karenanya masyarakat menjadi bodoh. Oleh
sebab itu untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan masyarakat perlu di bantu
dalam pemenuhan sarana yang di butuhkannya.
Melihat realitas
semacam ini pasti kita akan berfikir bahwa kenapa umat islam yang merupakan
mayoritas di negeri ini kebanyakan masih berada di bawah garis kemiskinan,
padahal kalau di telisik lebih jauh ajaran islam mempunyai konsep yang luar
biasa dalam upaya pengentasan kemiskinan yaitu zakat.
Namun kenyatannya masih
banyak sebagaian umat muslim yang mempunyai paradigma yang tekstualis,
artinya mereka masih mengikuti pola fiqh yang rigid dan absolute. Sehingga
dalam hal distribusi zakat menjadi konsumtif tidak produktif. Dan
konsekuensinya masih banyak umat muslim yang masih terbelenggu kemiskinan dan
keterbelakangan.
Oleh karena itu dalam tulisan ini
penulis akan mencoba menghadirkan pemikiran seorang intelektual dan sekaligus
ilmuan fiqh kontemporer KH. MA. Sahal Mahfudh dalam konteks pendayagunaan
zakat. Agar kemudian kita mendapatkan banyak alternative dalam memecahkan
persoalan kemiskinan dengan cara mengoptimalkan potensi zakat. Di sisi
yang lain penulis juga akan mendalami Apa itu zakat ? Biografi KH.
MA. Sahal Mahfudh. dan Bagaimana Pemikiran Kiai Sahal tentang
Pendayagunaan Zakat dalam upaya mengentaskan kemiskinan ?
Definisi Zakat
Zakat adalah ibadah maaliyah
ijtima’iyyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis, dan
menentukan, baik di lihat dari sisi ajaran agama islam maupun dari sisi
pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai suatu ibadah pokok zakat termasuk salah
satu rukun (rukun ketiga) dari rukun islam yang ke lima, sebagaimana yang di
ungkapkan dalam hadist Nabi, sehingga keberadaannya di anggap sebagai ma’lum
minad – diin bidh – dhoruroh atau di ketahui secara otomatis adanya
dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang. Di dalam Al – Qur’an
terdapat dua puluh tujuh ayat yang menyejajarkan kewajiban shalat dengan
kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata. Di dalam Al – Qur’an terdapat pula
berbagai ayat yang memuji orang – orang yang secara sungguh – sungguh
menunaikannya, dan sebaliknya memberikan ancaman bagi yang sengaja meninggalkan
Menurut “ kitab kuning
“ barang – barang yang wajib di zakati adalah emas, perak,Pertama; Menurut
imam Abu Hanifah, setiap yang tumbuh di bumi, kecuali kayu, bambu, rumput, dan
tumbuh – tumbuhan yang tidak berbuah wajib di zakati.Kedua; Menurut
Imam Malik, semua tumbuhan yang tahan lama dan di budidayakan manusia wajib di
zakati, kecuali buah buahan yang berbiji, seperti buah pir, delima, jambu, dan
lain – lain. Ketiga;Menurut Imam Syafi’I, setiap tumbuh tumbuhan makanan
yang menguatkan, tahan lama, dan di budidayakan manusia, wajib dizakati.Empat;Menurut
Imam Ahmad bin Hanbal, biji – bijian, buah – buahan, rumput yang di tanam wajib
di zakati. Begitu pula tumbuhan lain yang mempunyai sifat yang sama dengan
tamar, kurma, mismis, buah tin, dan mengkudu, wajib dizakati.
simpanan, hasil bumi,
binatang ternak, barang dagangan, hasil usaha, rikaz, dan hasil laut. Mengenai
zakat binatang ternak, barang dagangan, dan emas perak, hampir tidak ada
perbedaan antara para ulama’ dan imam madzhab. Sedangkan mengenai zakat hasil
bumi, ada beberapa perbedaan di antara madzhab empat.
Sedangkan hasil bumi
seperti tembakau dan cengkeh, wajib di zakati apabila di perdagangkan. Dengan
demikian ketentuannnya sama dengan zakat tijarah (perdagangan), bukan zakat
zira’ah (hasil bumi).
Bagaimana dengan gaji
dan penghasilan dari profesi ? menurut imam Syafi’I tidak wajib di zakati.
Sebab kedua hal tersebut tidak memenuhi syarat haul dan nishab. Gaji kalau di
total setahun, mungkin memenuhi nisab. Tetapi bukankah gaji di berikan setiap
bulan ? dengan demikian, gaji setahun yang memenuhi nisab itu hanya memenuhi
syarat hak tidak memenuhi syarat milik. Padahal benda yang wajib di zakati
harus merupakan hak milik. Gaji maupun upah jasa lainnya, walaupun di kenakan
zakat, adalah zakat mal, jika memang sudah mencapai nisab dan haul.
Penghasilan dari
industri juga wajib di zakati. Ini di kiaskan dengan barang dagangan dan hasil
usaha. Sebab tidak ada industri yang tidak di perdagangkan. Sedang uang, asal
memnuhi nisab dan haul, menurut Imam Maliki, wajib di zakati. Imam Maliki
mengiaskan uang dengan emas. Ketentuan – ketentuan barang yang wajib di zakati
tersebut menurut Kiai Sahal relevan dan bisa di terapkan dalam situasi dan
kondisi kita sekarang.
Dalam maslah mustahiq (yang
berhak menerima) zakat juga tidak ada perbedaan pendapat . sebabmustahiq sudah
jelas di sebutkan dalam surat at – taubah ayat 60. Mustahiq adalah
fakir, miskin, a’mil, mualaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnu sabil. Para mustahiq itu
biasa di sebut ashnaf ats – tsamaniyah(delapan kelompok).
Yang masih sering di
perdebatkan adalah tentang kategori masing – masing mustahiq,
terutama untuksabilillah. Jumhur ulama’ berpendapat, sabilillah
adalah perang di jalan Allah . bagian untuk sabilillah di berikan kepada para
angkatan perang yang tidak mendapatkan gaji dari pemerintah. Tetapi menurut
imam Ahmad bin Hanbal, bagian zakat untuk sabilillah bisa di tasharufkan untuk
membangun madrasah, masjid, jembatan, dan sarana umum lainnya. Agar zakat
berdaya guna dan tepat guna, kita perlu mengambil pengertian “
sabilillah” dalam makna yang luas, tidak membatasi pada pengertian
berperang saja. Kalau kita sepakat mengambil pengertian luas, maka segala hal
yang berkaitan dengan maslahat umum termasuk dalam kategori sabilillah.
Biografi KH. MA.
Sahal Mahfudh
Seperti dikatakan
Charles C Adam, bahwa aktifitas seseorang merupakan komentar paling baik atas
pandangannya, maka urian berikut ini akan membahas aktifitas KH. MA. Sahal
Mahfudh, baik posisinya sebagai “ kiai” yang mempunyai tanggung jawab mendidik
santri – maupun sebagai “ tokoh masyarakat” (rijal – al qoryah) yang
bertanggung jawab “membina “ masyarakat (komunitas di luar pesantren) agar
sejalan dengan tujuan syari’at islam. Pembahasan ini mengharuskan penulis untuk
mengetahui lebih jauh situasi social – ekonomi desa Kajen khususnya, serta
keberadaan Kiai Sahal sendiri. Ini di maksudkan untuk memberikan gambaran
komprehensif tentang sosok KH. MA. Sahal Mahfudh.
KH. Muhammad Ahmad
Sahal Mahfudh (selanjutnya di sebut Kiai Sahal) lahir di Desa Kajen, Margoyoso,
Pati pada tanggal 17 Desember 1937. Dia anak ketiga dari enam bersudara
pasangan KH. Mahfudh Salam (w. 1944) dan Ny Hj. Badi’ah (w. 1945). Ayah Kiai
Sahal yakni KH. Mahfudh Salam adalah saudara misan (adik sepupu) dari KH. Bisri
Sansuri, salah seorang pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ yang di segani, wafat
pada hari sabtu, 25 april 1981. Istri Kiai Sahal sendiri yaitu Hj. Nafisah
Sahal adalah cucu dari KH. Bisri Sansuri. Dengan begitu Kiai Sahal mempunyai
nasab kuat karena baik dari jalur ayah, ibu dan istri semuanya keturunan Kiai
ternama. Rupanya “ perkawinan antar kiai” ini sudah menjadi “ tradisi”
dalam komunitas NU.
Ketika Kiai Sahal
berusia 7 tahun ayahnya meninggal di penjara militer Ambarawa 1944 pada saat
melawan tentara jepang. KH. Mahfudh Salam, waktu itu memimpin santri kajen
untuk membendung perlawanan jepang bersama ayahnya ( KH. Abdussalam), KH.
Nawawi dan KH. Abdullah Tohir Nawawi. KakakKiai Sahal sendiri yaitu M. Hasyim
juga meninggal ketika melawan agresi militer Belanda II, 1949 bernama Abdullah
Said (putra KH. Mustagfirin Kajen) dan Masyhadi. Dengan wafatnya M. Hasyim,
maka Kiai Sahal adalah satu – satunya laki – laki yang hidup, karena empat
saudara lainnya adalah perempuan. Sesuai tradisi pesantren, sebagai anak laki –
laki ia dapat di harapkan dapat mengembangkan pondok pesantren Maslakul Huda
(selanjunya di sebut PMH Putra) yang di dirikan KH. Mahfudh Salam, 1910 dan
perguruan Islam Mathali’ul Falah (selanjutnya di sebut PIM) yang di dirikan
oleh KH. Abdussalam dan KH. Nawawi, pada 1912.
Latar sejarah yang
pahit itu kelak akan membentuk sosok pribadi Kiai Sahal yang demikian teguh
terhadap pendirian serta tidak mudah di bujuk oleh kepentingan politik
tertentu, meskipun dia berada “ di dalam” kekuasaan. Belum lagi di tambah
dengan keberadaan daerah Kajen yang “ kering” dan lemah secara ekonomi, turut
menambah “ watak keras” dalam dirinya.
Dari segi pendidikan,
Kiai Sahal sudah mulai belajar agama pada saat berusia enam tahun (1943) di
madrasah ibtida’iyah Kajen dan tamat 1949 . kemudian pada 1950 sampai 1953, Kia
Sahal melanjutkan studinya di Mathali’ul Falah Kajen. Pada saat yang sama dan
di tempat yang sama pula Kiai Sahal mengikuti kursus “ ilmu umum” filsafat, b.
inggris, administrasi, psikologi, tata Negara kepada H. Amin Fauzan. Setelah
tamat tsanawiyah, Sahal muda melanjutkan pendidikannya di Pare Kediri (1953 -
1957), dan di pesantren Sarang – Rembang (1957 - 1960), setelah tamat dari
Sarang, Kiai Sahal melnjutkan studinya di Makkah selama tiga tahun (1961 sampai
1963) di bawah bimbingan KH. M. Yasin bin Isa Al Fadani.
Disiplin ilmu yang di
pelajari Kiai Sahal cukup beragam mulai dari tafsir, fiqh, hadist, ushul fiqh,
tauhid, tasawuf, mantiq, balagah dan lain – lain. “ kitab kuning” (
classical sources) yang sudah di tamatkan juga sangat banyak seperti :
tafsir jalalain, fathul mu’in, tahrir, al - asymuni, jauharul maknun, alfiyah,
jam’ul jawami’, al – hikam dan sebagainya. Kitab – kitab itu di pelajari di
bawah asuhan para Kiai ternama terutama pamannya KH. Abdullah Salam.
Melihat beragamnya
kitab yang di pelajari, pantaslah kiranya jika Kiai Sahal sangat lihai di
bidang Bahasa Arab (Nahwu, Shorof, Badi’, Bayan, Balaghoh dan lain – lain yang
merupakan kunci untuk mengetahui “ seluk beluk” hukum islam” ) serta fiqh dan
ushul fiqh. Kiai Sahal di kenal sangat alim sejak usia muda. Tidak hanya dalam
bidang agama, Kiai Sahal juga di kenal sebagai pakar ilmu kemasyarakatan. Bukti
kepakaran ini misalnya, di jadikannya pesantren Maslakul Huda, pesantrennya
Kiai Sahal sebagai eksperiment pengembangan social – ekonomi masyarakat dari
lembaga penelitian, pendidikan, penerangan ekonomi social (LP3ES) Jakarta pada
1970 – an.
Sejak 1982, Kiai Sahal
sering berkeliling ke Luar Negeri terutama ke Asia dalam rangka studi
komparatif pengembangan masyarakat atau yang lainnya. Di antara Negara yang
pernah di kunjunginya adalah : Philipina (1982 dengan sponsor dari USAID),
Korea Selatan ( 1982 USAID), Sri Lanka ( 1984 P3M), Jepang ( 1982 USAID ),
Singapora (1984 P3M), Mesir ( 1992 – BKKBN), Saudi Arabia ( 1986 – DEPAG RI).
Pada tahun 1997 dia berkunjung ke Malaysia dan Thailand untuk kepentingan Badan
Pertimbangan Pedidikan Nasional (BPPN). Dalam tahun yang sama, dia berkunjung
ke Mesir dan Beijing.
Di samping itu, Kiai
Sahal di percaya sebagai Ketua DPS (Dewan Pengawas Syari’ah) di Bank Muamalat
Indonesia, Bank Asing di Jakarta, HSBC, dan Asuransi Syari’ah Pusat Bumi Putera
di Jakarta.
Beliau juga sangat
produktif dalam menulis di antara karya – karya beliau yang sudah
terpublikasikan adalah Nuansa Fiqh Sosial (LkiS : 1994 & 2007), Pesantren
Mencari Makna (Pustaka Ciganjur : 1999), Wajah Baru Fiqh Pesantren (Citra
Pustaka : 2004), Dialog dengan KH. Sahal Mahfudh : Telaah fiqh Sosial ( yayasan
karyawan Suara Merdeka : 1997), Ensiklopedi Ijma’ (Terjemahan bersama KH. A.
Mustofa Bisri), Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh, Solusi Problematika
Umat (Khalista Surabaya).
Sementara yang karya
yang di tulis dengan bahasa arab adalah Thariqotiul Khusul ala Ghayatil
Wushul, As – tsamaratul Hajainiyah, Al – fawaidun Najibah, Al – Bayanul
Mulamma’ an Alfadhil Luma’, Intifakhul wadijayn I’nda Munadharati Ulama’ Hajayn
fi Ru’yatil Mabi’ bi Zujajil Aynayn, Faydul hija fi Syarhi Nayli Raja
Mandhzumati Safinatin Najah, Qosidah Munfarijah, Al Murannaq dan Izalat al –
Muttaham, Anwarul Bashair dll
Pemikiran Kiai Sahal
tentang Zakat dan Pengentasan Kemiskinan
Bagi umat islam, zakat
di yakini sebagai pemenuhan kebutuhan individu yang bersifat eksatologis
ketimbang perwujudan solidaritas social yang lebih mendasar, atau dengan kata
lain, umat islam masih mempresepsikan zakat sebagai sebagai “ lembaga karitas”.
Pihak yang kaya di wajibkan memberikan sebagaian hasil kekayaanya kepada yang
tidak punya, namun tidak dalam konteks mendistribusikan kekayaan secara adil
sehingga tidak terakumulasi dalam seklelompok orang saja. Pelaksanaan zakat
sekedar memnuhi tuntutan syari’at islam.
Kiai Sahal adalah
seorang ulama’ yang menentang corak legal – formal dalam memahami zakat.
Baginya zakat selain berdimensi ubudiyah ( eskatologis ) juga berdimensi
social. Zakat demikian Kiai Sahal adalah salah satu cara untuk mempersit jurang
perbedaan pendapatan dalam masyarakat, sehingga tidak terjadi kesenjangan
social yang dapat berpotensi chaos dan mengganggu keharmonisan
masyarakat. Jadi, dalam pandangan Kiai Sahal, zakat adalah institusi untuk
mencapai keadilan social, dalam arti sebagai mekanisme penekanan akumulasi
modal pada sekelompok kecil masyarakat
Di sisi lain Kia Sahal
juga mengilustrasikan untuk mengentaskan kemiskinan mereka jangan di berikan
ikan terus menerus tetapi harus di berikan kailnya. Tetapi dengan memberikan
kail saja juga tidak cukup karena mereka harus di beri tahu bagaimana cara
mengail yang baik untuk mendapatkan ikan.
Jika benar salah satu
pendukung pengentasan kemiskinan adalah modal, maka sebenranya umat islam
memiliki potensi yang menjanjikan dalam hal permodalan karena islam memiliki
konsep zakat di mana setiap muslim yang memiliki harta benda dengan batas
tertentu (mencapai nishab) di wajibkan untuk mengeluarkan zakat harta bendanya.
Dalam ketentuan
fiqh secara formal zakat di berikan oleh Muzakki langsung
kepada mustahiq atau melalui imam dalam hal ini adalah
pemerintah dan di bayarkan dalam bentuk harta zakat, tidak boleh diganti dengan
yang lain. Demikian dengan praktek zakat selama ini zakat di berikan oleh Muzakki dan
di terima olehMustahiq sebagai barang konsumtif yang begitu di
berikan tidak sampai beberapa lama langsung habis. Hal itu menurut Kia Sahal
tidak mendidik dan tidak memberikan apapun dalam upaya peningkatan derajat
kehidupan umat. Karena itu menurut Kiai Sahal zakat harus di kelola secara
professional dalam upaya peningkatan derajat hidup umat. Dalam konteks ini Kiai
Sahal antara lain mengatakan bahwa zakat atas persetujuan mustahiq tidak
harus di terimakan dalam bentuk barang atau uang dapat di berikan sebagai
modal usaha dalam kegiatan ekonomi. Dengan demikian zakat di harapkan memiliki
nilai tambah di masa depan sehingga dengan pengelolaan zakat yang demikian
dapat di harapkan masyarakat yang sekarang menjadi mustahiq di
masa mendatang sudah tidak lagi dalam kelompok mustahiq bahkan bisa menjadi muzakki
karena nilai tambah yang di peroleh dari pengelolaan zakat yang dia terima.
Dari paparan teresebut
berkaitan dengan pengelolaan zakat paling tidak terdapat dua hal dari
pendekatan Kiai Sahal : pertama, harta zakat tidak selalu di berikan dalam
bentuknya semula, kedua, harta zakat di berikan sebagai modal, ketiga, ada
upaya konseptual untuk mengembangkan masyarakat melalui zakat. Meskipun
demikian, hal itu merupakan pengembangan dari konsep fiqh yang telah mapan, hal
itu tampak misalnya betapapun Kiai Sahal mengatakan tentang zakat yang di
berikan sebagai modal dan harta zakat tidak harus di berikan dalam bentuknya
semula. Kiai Sahal tetap mempersyaratkan adanya persetujuanmustahiq.
Menarik memperhatikan
cara pengelolaan dana zakat (termasuk infaq dan shadaqah tentunya) yang di
lakukan oleh Kia Sahal. Pertama yang di lakukannya adalah menginventarisir atau
mensensus ekonomi umat islam. Cara ini tidak untuk mengidentifikasi siapa di
antara umat islam yang mampu atau tidak. Dalam operasionalnya, Kiai sahal
melibatkan para ahli di bidang penelitian. Setelah data di peroleh mengenai
siapa yang tergolong mustahiq, dan siap yang tergolong muzakki,
maka di bentuklah panitia yang terdiri atas orang – orang yang sudah
professional di bidang pengembangan ekonomi. Panitia itulah yang bertugas
mengelola dan dari para agniya’ (the have) dana itu di berikan
kepada kaum faqir miskin melalui pendekatan basic need approach atau
pendekatan kebutuhan dasar. Masyarakat miskin di bagi dalam beberapa kelompok
dengan melihat kenyataan yang berkembang dalam masyarakat miskin itu sendiri.
Apa kekurangan mereka ? apa yang menyebabkan mereka miskin ? jadi pendekatan basic
need approach itu dalam rangka mengetahui kebutuhan dasar masyarakat
miskin, sekaligus mengetahui apa latar belakang kemiskinan itu. Di sinilah
tugas panitia tidak sekedar memberikan modal kepada kaum miskin, tetapi juga
keterampilan motivasi. Pemberian motivasi itu dimaksudkan agar masyarakat
miskin itu memiliki kemauan berusaha, tidak sekedar menunggu uluran tangan
orang kaya.
Seperti di sebutkan di
atas, bahwa pemberian dana zakat itu sesuai dengan kebutuhan dasar faqir
miskin. Jika si miskin itu mempunyai keterampilan menjahit, maka diberi mesin
jahit, kalau keterampilannya mengemudikan becak, si faqir miskin itu diberi
becak. Berkaitan dengan ini, Kiai Sahal menuturkan :“ pernah suatu kali saya
mencobanya terhadap seorang pengemudi becak di kabupaten pati, saya lihat dia
tekun mangkal di pasar untuk bekerja sebagai tukang becak. Pada saat pembagian
zakat tiba saya zakati dia. Hasil zakat bulan syawal itu berupa zakat mal,
zakat fitrah dan infaq. Semua saya kumpulkan dan sebagian saya belikan becak
untuknya. Sebelumnya dia hanya mengemudikan becak milik orang non pribumi,
namun sekarang dia telah memiliki dua buah becak. Usahanya itu berkembang dan
sehari – harinya ia tidak harus mengemudikan becak dengan mengejar setoran.
Dengan mengemudikan becak sampai jam tiga sore, hasilnya sudah cukup untuk
makan dan juga menjaga kesehatan, setelah itu bisa kumpul – kumpul mengikuti
pengajian. Dengan cara ini, meskipun dia tidak menjadi kaya, tetapi jelas ada
perubahan.”
Penuturan Kiai Sahal di
atas sebagai gambaran bahwa dana zakat, infaq, dan sodaqoh lebih berdaya guna
jika di berikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin. Di sinilah Kiai
Sahal harus melepas baju Syafi’iyahnya. Sebab, menurut Imam Syafi’i sebagaimana
di singgung oleh Kiai Sahal sendiri – pengumpulan zakat harus berupa barang
yang di zakati kecuali untuk barang dagangan. Maka, untuk hasil bumi, yang di
zakatkan adalah hasil bumi itu sendiri. Demikian pula untuk hewan ternak,
zakatnya harus hewan ternak. Begitu pula pembagiannya harus serupa barang yang
di zakati. Zakat hewan ternak harus di bagikan berupa hewan ternak, demikian
pula dengan hasil bumi.
Kiai sahal mengkritik
pendapat imam Syafi itu sebab di nilai tidak praktis dan kurang berdayaguna.
Sebab menurut Kiai Sahal, pembagian dana zakat yang “ apa adanya” itu dapat
menimbulkan efek yang kurang baik bagi masyarakat miskin itu sendiri, misalnya
kecenderungan selalu bergantung (dependent) kepada orang kaya
atau thama’. Selain itu, model imam syafi’i di atas sifatnya
sesaat (temporal) di samping pembagian dana zakat melalui model basic
need approach, Kiai Sahal juga membagikan dana zakat melalui koperasi. Cara
pengoperasionalannya, dana zakat yang terkumpul tidak langsung di bagikan dalam
bentuk uang, tetapi di atur sedemikian sehingga masih tetap dalam koridor fiqh. Mustahiq di
serahi zakat berupa uang, tetapi kemudian di tarik kembali sebagai tabungan si
miskin untuk keperluan pengumpulan modal. Dengan cara ini mereka dapat
menciptakan pekerjaan dengan modal yang di kumpulkan dari harta zakat.
Apa yang di lakukan
oleh Kiai Sahal di atas merupakan sebuah “ inovasi yang luar biasa”. Zakat yang
oleh umat islam di pedomani secara apa adanya, oleh Kiai Sahal di “ rombak”
dengan menggunakan pendekatan baru yang lebih realistis – empirik meskipun
tetap berada dalam rambu – rambu “hukum islam.”
Dalam intrepertasi yang
di lakukan oleh Wahkrodi dalam salah satu artikelnya yang di tulis dalam buku
Epistimologi Fiqh Sosial ada 3 kesimpulan yang di bangun. Pertama,
harta zakat tidak selalu di berikan dalam bentuknya semula. Kedua,
harta zakat di berikan sebagai modal. Ketiga, ada upaya konseptual
untuk mengembangkan masyarakat melalui zakat.
Sementara dalam kajian
Sumanto Al – Qurtuby dalam bukunya Era Baru Fiqh Indonesia ada dua hal yang
menjadi produk pemikiran Kiai Sahal dalam konteks pengembangan zakat, Pertama, yang
di lakukannya adalah menginventarisir atau mensensus ekonomi umat islam, cara
ini untuk mengidentifikasi siapa di anatar umat islam yang mampu atau tidak
dalam operasionalnya, Kiai Sahal melibatkan para ahli di bidang penelitian.
Setelah data di peroleh mengenai siapa yang tergolong muzakki dan
siapa yang tergolongmustahiq maka di bentuklah panitia yang terdiri
di atas orang – orang yang profesional di bidang pengembangan ekonomi.
Kedua, melembagakan dana zakat
melalui koperasi. Cara pengoprasionalannya, dana zakat yang terkumpul tidak
langsung di bagikan dalam bentuk uang, tetapi di atur sedemikian sehingga tetap
dalam koridor fiqh. Mustahiq di serahi zakat berupa uang,
tetapi kemudian di tarik kembali sebagai tabungan si miskin untuk keperluan
pengumpulan modal. Dengan cara ini, mereka dapat menciptakan pekerjaan dengan
modal yang di kumpulkan dari harta zakat.
Dengan adanya konsep
yang di tawarkan oleh Kiai Sahal zakat lebih dinamis dan pada gilirannya mampu
untuk memberdayakan umat muslim di negeri ini, terutama kaum Nahdliyin, semoga. Wallahu
a’lam bissowab.( M. Farid Abbad sekretaris Lakpesdam dan
Pengurus Perpus Mutammakin Kajen)