
Selain itu, terdapat di antara generasi muda yang bersikap menutup
diri terhadap berbagai perubahan, tanpa memilah mana yang harus diambil dan mana
yang harus ditolak. Terdapat juga generasi muda yang terlalu terbuka dan
cenderung liberal, menerima berbagai perubahan dan produk modern, tanpa adanya
proses filterisasi nilai-nilai dan gagasan, sintetesis dan integrasi, sehingga
terjebak pada dua pemaham yang ekstrim.
Padahal dilihat dari sejarah, Islam sebetulnya bukan agama yang
sebagaimana mereka asumsikan dan yakini. Islam mengedepankan kemoderatan dan
keseimbangan dalam berbagai aspek ajarannya. Tidak cenderung ke kanan yang
fatalis dan tekstual dan tidak cenderung kekiri yang rasionalis dan liberalis. Islam
menghendaki pemahaman keagamaan yang tegak ditengah-tengah (moderat) yang
melibatkan kedua potensi, baik potensi teks maupun rasio.
Realitas di atas cukup mengkhawatirkan, sebab generasi muda adalah
penerus ulama, di tangan merekalah nasib agama dan umat di masa yang akan
datang. kemajuan agama dan keselamatan umat berada dipundak mereka. Generasi
muda memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk memiliki ajaran dan paham
keagamaan yang benar dan mengajarkannya kepada masyarakat secara benar.
Di sinilah Aswaja tampil untuk memperjuangkan paham “Islam tengah”
yang berwatak moderat, toleran, seimbang dan tegak lurus. Maka alangkah baiknya
jika kita kaji kembali hakikat Aswaja, ajaran-ajaran Aswaja dan tanggung jawab
generasi muda Aswaja sebagai penerus kekholifahan atau kepemimpinan di muka
bumi ini.
Aswaja:
Pengikut Setia Nabi dan Sahabat
Secara historis, Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja) adalah sebuah
istilah yang diambil dari hadits nabi Muhammad SAW, yang menjelaskan tentang
akan terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan. Di antara 73 golongan tersebut
hanya satu yang dipastikan selamat dan masuk surga, yaitu Ahlussunnah Wa
al-Jama’ah, sedangkan yang lainnya sesat dan akan masuk neraka. Dengan
tegas Nabi mengatakan Ahlussunnah Wa al-Jama’ah adalah umatnya yang konsisten
mengikuti ajarannya dan khulafau al-Rasyidin.
Dalam menanggapi hadits ini, KH. Ahmad Sidiq berpendapat, Ahlussunnah
Wa al-Jama’ah merupakan ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulallah dan sahabatnya. Aswaja bukanlah sesuatu hal baru yang
timbul sebagai reaksi dari timbulnya aliran yang menyimpang dari ajaran murni,
seperti Syi’ah, Khawarij, dan Mu’tazilah. Aswaja sudah ada sebelum
aliran-aliran tersebut muncul. Justru aliran-aliran tersebut yang mengganggu
kemurnian Aswaja.
Menurut pemikiran Kiayi Ahmad Sidiq, Aswaja dari segi istilah dan
substansi ajarannya merupakan ajaran murni Rasulullah dan para sahabat, namun
setelah terjadi gerakan ajaran aliran-aliran yang menyimpang, baru Aswaja
dipopulerkan dan diformalkan menjadi sebagai suatu aliran yang bersikap
konsisten dan setia terhadap ajaran Rasulullah dan sahabatnya.
Melihat sejarah lahirnya Aswaja sebagai mana dijelaskan di atas,
maka sebenarnya Aswaja bukan hanya aliran yang mencakup bidang teologi saja,
namun mencakup berbagai aspek dan bidang keagamaan sebagai kesatuan yang
sempurna. Pemahaman demikian sebagaimana yang disepakati para Ulama organisasi Nahdlatul
Ulama. Aswaja tidak hanya terbatas pada aspek akidah, akan tetapi juga
menyangkut aspek ajaran Islam, yaitu akidah, syari’ah, dan akhlak. Ketiga
ajaran tersebut diamalkan secara serasi, seimbang dan selaras dalam satu
kesatuan.
Dalam merumuskan ketiga ajaran di atas, KH. Bisri Musthafa
memaparkan garis besar Aswaja sebagai berikut. Pertama, dalam bidang
hukum Islam (Fiqih), menganut ajaran dari salah satu madzhab empat, yaitu Imam
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Kedua, dalam bidang akidah,
menganut ajaran imam Abu Hasan al-Asy’ari dan imam Abu Mansyur al-Maturidi. Ketiga,
dalam bidang tasawuf, menganut ajaran imam Abu Qasim al-Junaidi dan Imam Abu
Muhammad al-Ghazali.
Realisasi Ajaran
Universal Aswaja
Sebagai aliran dan paham yang setia pada ajaran Rasulullah dan
sahabat, Aswaja memiliki ajaran universal yang dapat diterapkan dalam berbagai
konteks, kondisi dan situasi. Menurut KH. Sahal Mahfud, Aswaja dalam
pengertiannya yang utuh memiliki sifat dan karakteristik moderat dan menjunjung
tinggi keseimbangan dalam beragama Islam. Aswaja adalah aliran tengah dari dua
kutub besar, yaitu aliran Jabbariyah yang fatalistik dan aliran Qadariyah
yang rasionalis. Dalam penggalian (istinbath) hukum Islam kedua aliran
ini menggunakan pendekatan tekstual (Jabbariyah yang ekstrim ke kanan)
dan rasional (Qadariyah yang ekstrim ke kiri).
Dikaji secara historis, Aswaja memiliki beberapa ajaran universal
yang menyemesta dalam ruang lingkup tempat dan kondisi yang heterogen, yaitu tawasuth
(jalan tengah), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), dan
i’tidal (tegak lurus). Keempat nilai-nilai universsal tersebut
diterapkan dalam memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam, baik di
dalam aspek fikih (hukum Islam), akidah (teologi) maupun tasawuf (akhlak).
Nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai manhaju al-fikr (metode
berfikir) bagi setiap pengikut paham Aswaja. Hal demikian sebagai konsekuensi
dari lahirnya Aswaja yang mengedepankan ajaran dan nilai-nilai universal
kehidupan (rahmatan li al-‘alamin). Dalam alam globalisasi dan
modernisasi yang serba maju dalam teknologi, berwatak empiris, matrealis dan
hedonis realisasi nilai-nilai tersebut dalam memandang hidup dan memahami agama
sudah menjadi keniscayaan. Jika tidak,
maka justru Islam dan umatnya akan tergerus oleh berbagai dampak negatif
globalisasi.
Lebih dalam lagi, Gus Dur merumuskan kerangka aktualisasi pengembangan
doktrin Aswaja dalam desain dan format yang lebih komprehensif, progresif dan
kontekstual. Dalam kaitan ini ia mengajukan tujuh pokok pemikiran Aswaja.
Pertama,dalam masalah kehendak
manusia dihadapan nasib yang ditentukan Allah, Aswaja memberikan tempat yang
tinggi kepada manusia dalam tata kehidupan semesta. Manusia bebas menghendaki
apa saja, walaupun kehendak tersebut harus tunduk pada kehendak Allah.
Kebebasan kehendak ini mengaharuskan manusia menghargai dan mensyukuri karunia
hidup ini. Oleh karena itu, konsekuensi dari pemahaman seperti ini manusia
harus memiliki arah hidup yang benar. Arah hidup yang benar mengaharuskan
adanya perencanaan yang baik dalam berbagai aspek kehidupan.
Kedua,dalam masalah
konsep ilmu, Aswaja memiliki dimensi yang berbeda dari pengertian umum yang
berlaku. Menurut Aswaja ilmu berdimensi esoteris yang diperoleh tidak melalui
wawasan rasional. Ilmu yang seperti ini diperoleh secara keseluruhan dan berwatak
faidh (emanasi). Sedangkan pengetahuan menurut Aswaja berdimensi
eksoteris dan berwatak rasional yang diperoleh melalui proses belajar (learning).
Dengan demikian ilmu adalah pengarah bagi kehidupan manusia, sedangkan
pengetahuan berfungsi melayani kepentingan dan kehendaknya. Penyatuan ilmu dan
pengetahuan akan membentuk watak kehidupan manusia yang memiliki arah yang
benar, tetapi masih diabdikan untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Ketiga,dalam masalah
ekonomi, Aswaja melihat bahwa kebutuhan ekonomi umat manusia harus diletakkan
dalam konteks tempatnya dalam kehidupan, yaitu sebagai penerima karunia Allah
yang masih harus tunduk kepada takdirnya. Dalam kehidupan ini Allah telah
memberi manusia berbagai sumberdaya alam yang harus dimanfaatkan dan dikelola sebaik
mungkin. Pemanfaatan SDA tersebut harus didasarkan pada kemampuan memelihara
alam, bukan mengeksploitasi alam sehingga alam menjadi rusak. Oleh karena itu,
manusia dituntut untuk memiliki perencanaan yang matang dan menyiapakan serta
mengembangkan SDM-nya untuk dapat menjaga keseimbangan dalam memanfaatkan alam.
Keempat,dalam masalah
hubungan individu dan masyarakat, Aswaja berpendapat manusia sebagai individu
harus memperoleh perlakuan yang seimbang. Individu memiliki hak-hak dasar yang
tidak boleh dilanggar. Hak-hak dasar itu disebut dengan HAM yang menyangkut
perlindungan hukum, keadilan perlakukan, penyediaan kebutuhan pokok, peningkatan
kecerdasan, pemberian kesempatan yang sama, dan kebebasan untuk menyatakan
pendapat, keyakinan dan keimanan, disamping kebebasan untuk berserikat dan
berusaha. Oleh karena itu, setiap individu harus tunduk kepada asas
pemeliharaan keseimbangan antara kebutuhannya sendiri dan kebutuhan masyarakat.
Dan kesadaran untuk selalu memikirkan kepentingan bersama harus selalu dikembangkan
untuk tumbunya moralitas individual dan untuk memungkinkan tumbuhnya etos
sosial yang dinamis dan kreatif.
Kelima,dalam masalah
tradisi, Aswaja berpendapat bahwa tradisi merupakan warisan berharga dari masa
lampau yang harus dilestarikan, tanpa menghambat tumbuhnya kreatifitas
individual. Maka perlu adanya penekanan pada kemampuan menyesuaikan tradisi
kepada tuntutan perubahan.
Keenam,dalam masalah
pengembangan hidup masyarakat, Aswaja melihat bahwa kehidupan manusia
senantiasa berubah, oleh karena itu semua sumberdaya, baik sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia harus selalu dikembangakan dan didayagunakan secara
bijaksana, efisien dan tidak merusak. Maka, proses persuasi dan diversifikasi
gagasan merupakan bagian yang tak dapat diabaikan dalam pendayagunaan sumberdaya
manusia secara efisien.
Ketuju,dalam masalah
asas-asas internalisasi dan sosialisasi, Aswaja dituntut harus mengembangkan
dan mendinamisasi pemikiran keagamaan melalui ushul figh, qawa’idah fighiyah
dan sebagainya kepada masyarakat. Proses internalisasi tersebut dengan
pendayagunaan dan pemaksimalan forum-forum agama , seperti pengajian,
musyawarah, bahtsu mail, lembaga pendidikan agama dan sebagainya. Dengan
demikian, diharapkan tumbuhnya budaya baru yang memungkinkan terjadinya
peletakan dasar-dasar kreatif dalam beraswaja.
Secara terpadu, kesemua pandangan di atas akan membentuk prilaku
kelompok dan individual yang terdiri dari sikap hidup, pandangan hidup, dan
sistem nilai yang secara khusus dapat disebut sebagai watak Ahlus sunnah Wa
al-Jama’ah.
Tanggung Jawab
Generasi Muda Aswaja
Saat ini umat Islam terutama generasi muda hidup di dalam zaman
yang serba modern dalam berbagai bidang kehidupan dengan watak yang empiris,
materealis,
hedonis, dan sekuleris. Akibat dari kehidupan yang serba modern, muncul
berbagai problem kehidupan, mulai dari perkembangan ilmu pengetahuan yang
berwatak bebas nilai (posivistik), pola hidup masyarakat yang materealis
dan sekularis, kesenjangan hidup antar individu dalam masyarakat, lunturnya nilai-nilai
religuisitas, hingga muncul dan merebaknya kekerasan mengatasnamakan agama
Islam. Tentun generasi muda Aswaja dihadapkan pada kondisi yang serba dilematis
dan sulit, karena disatu sisi dituntut untuk memiliki masa depan yang baik,
namun disisi lain dihadapkan dengan berbagai problem dan tantangan hidup yang
begitu besar.
Menurut Prof. Ishaq Ahmad Farhan, generasi muda saat ini akan
dihadapkan pada empat problem kehidupan: Pertama. Problem kehidupan
spiritual, seperti terganggunya kebutuhan persepsional antara kebutuhan materi
dan rohani. Kedua, problem kehidupan intelektual, seperti pergumulan
antara pola pikir ortodok dan modern. Ketiga, problem kehidupan sosial,
seperti menghadapi pergeseran sistem nilai dan terpecahnya integritas moral. Keempat,
problem kehidupan politik, seperti gejala frustasi yang berkepanjangan
mengahadapi sikap laku politik generasi tua yang tidak konsisten, perpecahan
dan rivalitas yang tidak jelas alasannya.
Walaupun demikian, generasi muda Aswaja tidak boleh terbawa arus
negatif globalisasi dan terpengaruh oleh keadaan yang tak menentu, ia harus
optimis dalam menjalani hidup dan membuat berbagai kreatifitas karya yang dapat
bermanfaat bagi dirinya sendiri dan umat manusia. Dalam kaintan ini, generasi
Aswaja memeliki peran dan tanggung jawab sebagai konsekuensi penerus perjuangan
para pendahulunya (ulama).
Pertama, generasi
Aswaja harus memiliki kesungguhan dalam thalabu al-‘ilmi, baik dalam
mempelajari ilmu agama maupun ilmu sains dan selalu mengembangkan keduanya. Aswaja
menolak dikotomi dalam konsep mempelajari ilmu, semua ilmu bermanfaat dan semua
memiliki konteks dan posisinya masing-masing dalam kehidupan. Oleh karena itu,
Kiayi Sahal Mahfud mengutip pendapat imam Ghazali mengatakan, Seorang ulama
Aswaja, selain harus menguasasi seperangkat sarana keilmuan dan berkepribadian
unggul, haruslah menjadi seorang yang peka dan memahami benar kemaslahatan
makhluk dalam kehidupan dunia (faqih fi mashalih al-khalqi fi al-dunya),
karena dengan syarat itulah seorang ulama mampu mengambil kebijakan dan
bersikap terbuka dalam lingkup kemaslahatan. Memiliki kepekaan dan pemahaman
terhadap kemaslahatan makhluk di dunia mustahil terwujud tanpa integrasi ilmu
agama dan ilmu sains, karena dibutuhkan pendekatan interdisipliner dan
integrasi berbagai ilmu pengetahuan untuk dapat mendayagunakan potensi alam secara
maksimal dan bijak sana.
Kedua, generasi
Aswaja harus mampu menjaga, melestarikan dan mengembangkan ajaran Aswaja yang
berkiblat pada sunnah Nabi dan para sahabatnya. Aswaja yang berdasarkan
kemurnian ajaran Nabi dan sahabat memiliki watak universal. Ajaran tawasuth,
tawazun, tasamuh dan i’tidal menjadi landasan manhaju al-fikr dalam memeluk agama Islam yang rahmata li
al-‘alamin. Aswaja tidak hanya dipahami sebagai aliran keagamaan yang
menempatkan pokok kajiannya pada masalah pengamalan furu’ agama Islam,
tapi Aswaja juga harus dipahami sebagai esensi Islam yang bersifat dinamis
sesuai dengan perkembangan hidup manusia. Dengan demikian trilogi Islam, yaitu
iman, islam, dan ihsan dapat berjalan secara seimbang.
Ketiga, generasi
Aswaja seyogyanya mampu merealisasikan dan mengaktualisasikan kerangka
pengembangan doktrin Aswaja yang digagas Gus Dur dalam hal perencanaan hidup
secara matang, integrasi antara ilmu dan pengetahuan, pendayagunaan SDA secara
profesional dan tidak eksploitatif, menghargai dan menegakkan HAM, menjaga
tradisi yang masih relevan dan menerima berbagai perubahan yang tidak
bertentangan dengan ajaran dasar Islam, mampu mengembangkan kehidupan dirinya
dan masyarakat secara bijaksana dan efisien, dan internalisasi ushul fiqih, qawa’id
fiqhiyah dan ilmu-ilmu agama lainnya secara dinamis, serta
mensosialisasikannya melalui berbagai forum keagamaan.
Keempat, menurut
KH. M. Tholhah Hasan, Generasi muda harus memiliki beberapa ciri yang menonjol,
yaitu memiliki idealisme yang murni, keberanian dan keterbukaan dalam menyerap
nilai-nilai dan gagasan-gagasan baru, memiliki semangat pengabdian, memiliki
watak spontanitas dan dinamis, inovatif dan kreatif, memiliki keinginan untuk
segera mewujudkan gagasan-gagasan baru, memiliki keteguhan dalam janji dan
keinginan untuk menampilkan sikap dan kepribadian yang mandiri.
Dan yang kelima, generasi Aswaja harus menjadi pribadi yang
kosmopolitan, memiliki cita-cita yang besar dan pemikiran yang menyemesta dan
mendunia. Orientasi hidupnya tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri,
tetapi juga untuk kepentingan masyarakat dunia. Ia harus mampu berkompetisi
dalam kancah global dalam berbagai bidang, baik agama, ilmu pengetahuan,
ekonomi, politik, budaya, dan teknologi. Hal demikian sebagaiman diserukan
cendikiawan komtemporer Ziauddin Sardar, intelektual muslim kontemporer harus
berkembang menjadi tokoh-tokoh yang menguasai berbagai bidang keilmuan dan
mampu melahirkan sintesis-sintesis keilmuan untuk dapat menyelesaikan problem
komtemporer.
Dengan merealisasi kelima tanggung jawab di atas, diharapkan
generasi Aswaja masa depan benar-benar dapat menjadi ulama dan para penerus
yang unggul, berkualitas dan mampu berkompetisi dalam kehidupan dunia global,
memiliki pandangan hidup yang inklusif dan akomodatif terhadap berbagai
perubahan, dan memiliki integritas
kepribadian dan laku yang mulia. Aswaja ke depan
akan tetap lestari, langgeng, mendunia dan sebagai paham yang menjadi rujukan
masyarakat dunia. Tak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan dengan munculnya
berbagai perkembangan globalisasi dan merebaknya gerakan radikalisme yang
anarkis. Karena Aswaja telah mendarah daging dalam pikiran dan jiwa generasi
penerus, baik sebagai amaliyah keagamaan maupun sebagai manhaju al-fikr.(Ratna Andi Irawan Ketua Lakpesdam Pati, )Tulisan
ini pernah di muat di majalah Amanat 2015