KH. Abdurrahman Wahid
atau akrab disapa Gus Dur merupakan seorang kiayi sekaligus intelektual
kontemporer yang pemikirannya sering menimbulkan kontroversi dan tak jarang
disalah pahami sebagian kalangan. Padahal jika dikaji secara mendalam, kerangka
pemikiran Gus Dur yang kritis dan komprehensif dalam memandang realitas agama,
sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan kenegaraan tak lepas dari
argumen-argumen dan kaidah ushul fikih yang merujuk pada Al-Quran dan Hadits
Nabi.
Dalam narasi sejarah
pemikiran dan karirnya sebagai ulama, intelektual dan politikus, Gus Dur banyak
memberikan kontribusi pemikiran terkait rumusan konsep ushul fikih
multikultural di Indonesia. Ia selalu mendasari setiap pemikirannya dengan
landasan teks agama yang kokoh, dalam konteks ini adalah tradisi ushul fikih,
misalnyaijma, qiyas, istishlah, istihsan, urf dan kaidah lainnya.
Dengan paradigma ushul fikih ini, Gus Dur menawarkan rumusan ushul fikih
multikultural dengan melakukan pengembangan substansi hukum Islam, sehingga
dapat dibangun sistem hukum kenegaraan, fikih politik, fikih lintas agama,
fikih kebudayaan, fikih kemanusiaan, fikih kebangsaan, fikih ekonomi dan fikih
lintas agama.
Gus Dur berpendapat
bahwa untuk merumuskan fikih kontekstual, fikih harus menjadi rumusan pemikiran
etik dan tindakan riil kemasyarakatan yang inklusif dan melampaui batas-batas
normatifitas fikih lama yang berwatak ke Arab-an, yakni rumusan fikih kita
harus lahir dari rahim pergulatan dan pemikiran kebudayan Indonesia. Fikih yang
membumi dan merakyat, bukan fikih yang lahir dari kebudayaan lain. Dalam
konteks ini, Gus Dur mewacanakan gagasan pribumisasi Islam. Artinya di samping
rumusan fikih harus berasal dari akar budaya lokal, fikih juga harus mampu
menyatu dan melebur dengan kehidupan dan tradisi masyarakat Indonesia.
Pada tataran
metodologi, Gus Dur dalam beristinbath mendasarkan
pemikirannya pada beberapa paradigma.Pertama, paradigma ijma’ multikultural,
yakni ijma’ yang dalam prosesnya melibatkan berbagai kalangan
atau kelompok, misalnya ijma’ yang dirumuskan oleh suatu
bangsa, Negara, organisasi keagamaan profesional, seperti MUI, LBM NU, MTT
Muhammadiyah, dsb. Kedua, paradigma Qiyas multikultural,
yaitu qiyas yang inklusif, menerima adanya perbedaan pendapat
di antara kalangan dalam suatu kasus hukum. Ketiga,paradigma istihsan multikultural,
yakni menggunakan hukum juz’iyah dari pada hukum kulliyah jika
ada tuntutan yang menghendaki diterapkannya hukum tersebut. Keempat,
maslahah multikultural, yakni kemanfaatan yang ditujukan untuk manusia
agar dapat menjaga keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima, paradigma urf mulitikultural,
yakni melibatkan dan melestarikan kearifan budaya/tradisi lokal dalam
menentukan suatu hukum. Keenam, syadz al-Dzara’ah multikultural, yaitu
mempertimbangkan sesuatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang
diharamkan atau dihalalkan dalam menentukan suatu hukum.
Dalam prakteknya, ushul
fikih multikultural yang digagas Gus Dus memiliki empat prinsip yang harus
diejawantahkan dalam proses istinbath hukum. Pertama, prinsip
keadilan. Menurut Gus Dur, Al-Quran selalu mendorong setiap manusia untuk
berlaku adil, memenuhi janjinya, tugas dan amanat, melindungi kaum lemah dan kekurangan,
memiliki kepekaan sosial, dan bersikap jujur. Islam juga mengaitkan langsung
antara sisi keadilan dengan usaha kongkrit dalam meningkatkan kesejahteraan
sosial. Kedua, prinsip kemanusiaan. Dalam surat al-Anbiya’
(21):107 dan surat al-Maidah (5): 32, Gus Dur menjelaskan bahwa Islam sangat
melindungi dan menghargai kemanusiaan. Prinsip kemanusiaan ini dapat terwujud
jika ditopang dengan memberikan kebebasan nurani, menjamin kebebasan manusia,
mewujudkan fikih yang memperhatikan keselamatan akal dan jiwa, dan mewujudkan
fikih yang mampu memberdayakan manusia, baik dalam tataran intelektual, maupun
tataran prilaku. Ketiga, prinsip negara hukum. Menurut Gus
Dur, suatu Negara harus memiliki hukum/konstitusi yang didasarkan pada
kesejahteraan dan kemaslahatan sosial (Tasharrufu al-Imam ‘ala al-Ra’iyah
manutun bi al-Maslahah). Prinsip ini bisa terwujud jika prinsip supremasi
hukum, prinsip persamaan di depan hukum, dan prinsip independensi hukum
ditegakkan. Keempat, prinsip universalitas. Dalam hal ini, Gus
Dur berpendapat bahwa semua hukum atau undang-undang yang dibuat harus sesuai
dengan lima prinsip pokok hukum Islam (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta
) yang menjamin keselamatan manusia dan senafas dengan nilai keadilan,
kemanusiaan, keseimbangan, keserasian, keselarasan, kesamaan di depan hukum,
ketertiban dsb.
Dengan paradigma dan
prinsip-prinsip di atas, Gus Dur menggagas ushul fikih multikultural yang mampu
membangun sistem hukum Islam yang kontekstual dan melahirkan beragam macam
rumusan konsep fikih, yaitu fikih kenegaraan, fikih kemanusiaan, fikih
kebudayaan, fikih politik, fikih ekonomi, fikih kebangsaan, dan fikih lintas
madzhab. Dalam konteks inilah Gus Dur ingin mewujudkan “Pribumisasi Fikih” yang Sholihun
li kulli zaman wa al-Makan.
Dalam buku ini, Moh.
Dahlan menyajikan kajian tentang konsep ushul fikih multikultural KH.
Abdurrahman Wahid secara komprehensif. Dengan kemampuannya, penulis sangat apik
dalam menyajikan data, analisis dan rumusan, didukung dengan bahasa ilmiah yang
renyah. Karena itu, buku ini sangat bermanfaat untuk pengembangan pemahaman
ushul fikih dan fikih warga nahdliyin, dan bagi siapa saja yang gandrung,
berminat serta ingin melestarikan pemikiran Gus Dur, terutama kalangan
akademisi, mahasiswa, dan aktifis.
Judul
: Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur
Penulis
: Dr. Moh. Dahlan, M.Ag
Cetakan :
Pertama, Mei 2013
Penerbit : Kaukaba
Tebal
: 240 hlm
Harga
: Rp.
50.000
ISBN
: 978-602-17968-9-4
Peresensi : R. Andi Irawan