Resensi Buku. NU adalah orgnasasai sosial keagamaan
yang secara doktrinal menganut paham Aswaja (Ahlu sl-Sunnah wa al-Jama’ah).
Menurut KH. Ahmad Syidiq, hakika Aswaja adalah ajaran Islam murni sebagaimana diajarkan
dan diamalkan Rasulallah SAW, dan para sahabat. KH. Ahmad Syidiq melihat Aswaja
adalah esensi ajaran Islam. Dalam pemahaman seperti ini, Aswaja merupakan
esensi Islam yang bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan kehidupan
manusia. Aswaja dalam pengertian demikian,
mensyaratkan tiga hal penting, yaitu; Pertama, menghendaki keseimbangan
antara trilogi Islam, yaitu iman, Islam, dan ihsan (akidah, syari’ah, dan
akhlak atau tauhid, fiqh, dan tasawuf); Kedua,Aswaja merupakan masalah al-Ushul
(prinsip atau pokok ajaran bukan furu’); Ketiga,
pengamalannya selalu mengalami perkembangan yang dinamis dengan menggunakan
metode tertentu. Secara spesifik Aswaja dalam perspektif NU mengikuti sistem
bermadzhab. Dalam bidang fikih, NU mengikuti madzhab
empat, yaitu Imam Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali. Dalam bidang akidah, NU
mengikuti dua imam, yaitu imam Asy’ari dan Maturidi. Dan dalam bidang akhlak,
NU mengikuti dua imam juga, yaitu Imam Junaidi al-Baghdadi dan al-Ghazali.
Sistem bermadzhab inilah yang mendasari NU dalam menggali dan mengamalkan paham
keagamaan dan kebangsaan (politik) secara dinamis. Dalam lembaran sejarah Indonesia, peran
dan partisipasi NU dalam memperjuangkan nasionalisme tidak diragukan lagi.
Rangkain narasi historis menunjukkan NU dengan berjalannya waktu konsisten
mempertahankan paham nasionalismenya untuk tetap setia mendukung negara
Indonesia dan pancasila.Dalam berbagai konteks, NU membuktikan
komitmen tersebut. Pada tahun 1936 NU meyepakati bahwa wilayah Nusantara sebagai
daru al-Islam, pada tahun 1945 NU mengeluarkan Resolusi Jihad membela
tanah air, pada tahun 1954 NU menyematkan gelar waliyyu al-Amri al-Dlaruri
bi al-Syaukah, dan puncaknya pada tahun 1984 NU menetapkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk sah dan final dari seluruh cita-cita nation,
termasuk umat Islam, untuk mendirikan negara di kawasan Nusantara. Berbagai kebijakan di atas bukan tanpa
dasar dan epistemologi yang kokoh. Paham kebangsaan NU digali dari
pemikiran-pemikiran politik Sunni Abad pertengahan. Filsafat politik ini sudah
mengalami perkembangan sekitar 500 tahun, diawali pada abad ke-9 oleh para
ulama fikih, seperti al-Baqillani, al-Baghdadi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu
Taimiyah, dan Ibnu Khaldun. Namun dalam realitas dan praktiknya, NU dalam
pandangan politiknya lebih cenderung merujuk pada pemikiran al-Mawardi dan
al-Ghazali, dua tokoh sunni yang memiliki pandangan politik yang moderat dan
lebih mengedepankan sikap yang mementingkan keselarasan hubungan antarmanusia, sebagaimana
watak orang Jawa.Sikap moderat dan memilih jalan damai
inilah yang diadopsi NU sebagai pandangan politik dan kebangsaan, sebab sesuai
dengan tradisi orang Jawa dimana mayoritas masyarakat pesantren tinggal. Secara
spesifik sikap dan pandangan politik NU dapat dirumuskan dalam beberapa
prinsip, yaitu tawasuth (keseimbangan), tawazun (keselarasan),
I’tidal (teguh dan tidak berat sebelah), dan iqtishad (bertindak
seperlunya dan sewajarnya, tidak berlebihan).Namun, NU saat ini dipanggil lagi perannya
untuk menghadapi berbagai ancaman dan tantangan dari luar maupun dari dalam
yang berkaitan dengan nasionalisme. Di tengah-tengah perkembangan dunia,
nasionalisme dikepung oleh tiga arus besar, yaitu globalisme, etnonasionalisme
dan fundamentalisme. Globalisme adalah paket retoris yang berwujud ideologi
pasasr neoliberal yang memberikan norma, nilai, dan makna-makna tertentu
terhadap proses globalisasi. Secara umum globalisasi terjadi dalam tiga ranah,
yaitu ekonomi, politik dan kultural.Sedangkan etnonasionalisme adalah gerakan
yang mengusung etnisitas sebagai basis untuk mengeklaim hak membentuk
pemerintahan sendiri. Pola gerakan ini sering dilakukan dengan cara konflik
kekerasan, sehingga dinamakan dengan konflik etnis. Dalam perspektif negara
gerakan ini disebut dengan separatisme. Dan fundamentalisme adalah kelompok
agama yang menentang sekulerisme dan berkeinginan mendirikan negara Tuhan atau khilafah
islamiyah. Bila dipetakan, globalisme dan fundamentalisme merupakan ancaman
dari luar, sedangkan etnonasionalisme adalah ancaman dari dalam.Dalam buku ini, Ali Masykur Musa mengajak
para masyarakat Indonesia, terutama warga NU untuk bersama-sama menumbuhkan dan
mempertahankan kesadaran nasionalisme ala NU di tengah-tengah perkembangan
zaman yang penuh dengan kepungan berbagai arus yang mengancam eksistensi
nasionalisme. Secara kritis, penulis menyampaikan dasar pemahaman kebangsaan
dan sikap politik NU serta hubungannya dengan negara dan nasionalisme. Selain
itu penulis juga menyampaikan, ada tiga ancaman nasionalisme baik dari luar,
maupun ancaman dari dalam, yaitu globalisme, etnonasionalisme dan
fundamentalisme. Untuk dapat menghadapi tiga ancaman tersebut, NU harus
membangun ulang orientasi kebangsaan, membangun sikap proaktif dan partisipatif
dan membangun politik kelembagaan. Oleh karena itu, buku ini penting dibaca
oleh para warga nahdliyin.
Judul
Buku : Nasionalisme di Persimpangan: Pergumulan
NU dan Paham Kebangsaan Indonesia
Penulis
: Ali Masykur Musa
Penerbit
: Erlangga
Tahun
Terbit : Cetakan 2011
Tebal
: 228 hlm
ISBN
: 978-979-099-478-2
Peresensi
: R. Andi Irawan