Di tengah krisis pemahaman keislaman
otentik dan komprehensif, umat Islam membutuhkan pemikiran yang mampu
menyegarkan dan membangkitkan paham keislaman yang moderat, toleran dan rahmatan
lil ‘alamin. Pemahaman keislaman demikian pada gilirannya mampu
merealisasikan kerukunan antar umat beragama dan antar aliran di internal Islam
sendiri. Melalui bukunya ini, K.H. Husein Muhammad menyampaikan beberapa
refleksi pemikirannya dalam menginterpretasikan ajaran Islam secara mendalam
dan usaha dalam merespon berbagai fenomena sosial keagamaan yang terjadi dewasa
ini.
Dalam mengawali pembahasan, penulis
berbicara tentang konsep keislaman. Ada tiga hal pokok yang menjadi prinsip
dalam menjalankan ajaran islam, yaitu iman, islam dan ihsan. Berdasarkan beberapa
ayat Al-Quran dan hadits Nabi, Kiayi Husein mengartikan ihsan dengan arti
yang mengandung pesan kebaikan, kesalehan dan moralitas kemanusiaan. Secara
elaboratif, ihsan adalah kejujuran, ketulusan, kesederhanaan, kesabaran,
kedermawanan, menghargai orang lain, tidak melakukan penyelewengan terhadap hak
orang lain, tidak merusah alam. Lebih dari itu, ihsan juga berarti bertindak
santun, kasih dan mencintai semua ciptaan Allah. Dan pada tingkat yang lebih
tinggi, ihsan adalah menghadirkan Tuhan dalam setiap nafas (hal. 9-10).
Berangkat dari pemahaman kiayi Husein ini, Islam adalah agama yang
memerintahkan umatnya untuk menebar keadilan, kedamaikan dan kebaikan kepada
semua ciptaan Tuhan, manusia, hewan, tumbuhan dan alam semesta.
Dalam menebar kedamaian dan mengajak
manusia menuju jalan kebenaran, kiayi Husein tidak sepakat dengan cara
kekerasan sebagaimana digunakan oleh aliran radikalisme. Ia sepakat dengan cara
yang halus, lembut dan santun sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Al-Ghazali menceritakan, “ Suatu hari, seorang Arab Badui datang kepada Nabi
sambil menyampaikan kata-kata kasar dan menantang. Ketika orang itu tertumbuk
pada sosok Nabi yang santun, penuh senyum, tenang, dan memancarkan cahaya
kenabian, ia tertegun dan terpesona. Ia lalu bergumam, “ Demi Tuhan, ini bukan
wajah seorang pembohong”. Tidak lama kemudian, ia meminta Nabi mengajarkan
Islam dan ia pun memeluknya”. Apa yang diceritakan Al-Ghazali, menunjukan bahwa
dakwah dengan bahasa yang lembut, tingkah laku yang santun dan keteladanan lebih
efektif dari pada dengan kekerasan atau hanya dengan bahasa mulut, sebagaimana
dikatakan pepatah Arab, “ Bahasa tubuh lebih efektif dari pada bahasa lidah”
(hal. 125-126).
Lebih lanjut, kiayi Husein memaparkan
memalui renungannya, bahwa umat islam saat ini perlu mengikuti keteladanan para
ulama yang hidup pada empat abad pertama. Hal demikian penting dilakukan,
karena umat islam pada abad tersebut mampu mencapai keberhasilan dalam
mewujudkan peradaban islami, sehingga Islam mampu berekspansi ke berbagai
belahan dunia karena sikap keluwesan dan keterbukaan mereka terhadap khazanah,
ilmu pengetahuan dan peradaban dunia lain. Sikap terbuka terhadap yang lain dan
memiliki banyak perspektif keilmuan dan pengetahuan adalah kunci untuk
memajukan dan mendahwahkan agama islam kepada yang lain. Ibnu al-Qayyim,
seorang ulama salafi mengatakan, “Bila engkau melihat ada keadilan dari mana
pun datangnya, ambillah karena keadilan adalah inti agama Tuhan” (hal.
235-236).
Dan di beberapa akhir tulisaanya, kiayi
Husein mengingatkan kepada umat Islam, untuk merenungi kembali setiap arti
ibadah yang dilakukan, yaitu kaitannya dengan relevansi antara ibadah sholat,
puasa, zakat dan haji dengan tanggung jawan sosial. Menurutnya, ibadah selalu
memperlihatkan fungsi, tugas, dan efek ganda. Selain merefleksikan tanggung
jawab individual, ibadah juga merefleksikan tanggung jawab sosial dan
kemanusiaan. Contohnya sholat, dalam beberapa ayat Al-Quran, sholat
dilaksanakan untuk mengingat Allah (QS. Thaha[20]:14), tapi juga untuk juga
untuk mewujudkan kepentingan sosial-ekonomi (QS. Al-Ma’un [107]:1-7). Kemudian
puasa, di samping merupakan proses mengadirkan Tuhan ke dalam diri, juga
merupakan cara mengendalikan kecenderungan-kecenderungan egoisme manusia yang
sering kali mendesak kehidupan hedonistik. Begitu juga zakat, selain cara
membersihkan diri dari dosa, zakat juga merupakan aksi pemberian makan bagi
orang miskin, mereka yang tertindas dan yang menderita lainnya. Kemudian yang
terakhir adalah haji, selain bertujuan sebagai bentuk penyerahan diri secara
total kepada Tuhan, juga melambangkan kesatuan, kesetaraan, dan persaudaraan
umat manusia sedunia (hal. 249-251).
Buku setebal 276 halaman ini, sangat
penting untuk dibaca oleh siapapun, terutama umat Islam dan warga
nahdliyin. Membaca buku ini, pembaca akan diajak untuk belajar dan merenungkan
kembali tentang pemahaman keislamannya selama ini. Selain itu, pembaca juga
akan mendapatkan berbagai pencerahan, bahwa Islam adalah agama
yang indah, terbuka, cinta akan kedamaian dan menjunjung tinggi kemanusian.
Judul buku
: Menyusuri Jalan Cahaya
Penulis
: KH. Husein Muhammad
Penerbit
: PT Bentang Pustaka
Tebal
: 276 hal.
Tahun terbit :
Cetakan 1, Juni 2013
ISBN
:978-602-7888-27-2
Peresensi
: R. Andi Irawan